REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Di pembukaan Kongres Pemuda Pertama, 30 April 1926, anggota Volksraad Dahler hadir. Hadir pula anggota Gemeenteraad van Batavia Dr Kayadoe.
Ada juga Prof Dr Bertram Johannes Otto Schrieke, guru besar Etnologi/Sosiologi di Rechtshoogeschool te Batavia. Schrieke menulis disertasi Het Boek van Bonang dan kumpulan tulisannya tentang Indonesia dibukukan dengan judul Indonesian Sociological Studies.
Tabrani menjadi ketua panitia kongres yang berlangsung hingga 2 Mei 1926 itu. Menurut laporan Nieuwe Rotterdamsche Courant, secara politik, kongres ini dilarang. Karenanya, isi pidato yang akan disampaikan diperiksa oleh polisi. Hadir di kongres itu ada dua pejabat intelijen dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID).
Sekretaris Panitia Kongres Soemarto mengakui adanya sensor dari polisi untuk materi ceramah. Soemarto menyampaikan materi persatuan Indonesia dan banyak bercerita tentang sejarah gerakan pemuda.
"Pembicara menyatakan penyesalannya bahwa ceramahnya harus kehilangan banyak nilai, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan politik telah dihapus oleh polisi,’’ tulis Nieuwe Rotterdamsche Courant edisi 4 Juni 1926.
Dalam pidato pembukaannya, Tabrani menyinggung perlunya kerja sama antarorganisasi pemuda demi kemandirian Indonesia. Cita-cita besar ini, menurut Tabrani, perlu tumpuan persatuan organisasi pemuda di semua pulau.
Baca Juga: Taktik Tabrani Pakai Bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia
Tabrani mengusulkan pembentukan Indonesia Muda. Kongres, menurut Tabrani yang dihadir diharapkan perorangan, tetapi organisasi-organisasi pemuda yang tergabung dalam kepanitiaan Indonesia Muda juga diundang.
Di buku Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama di Jakarta 1926, Tabrani memberikan penjelasan terkait kehadiran intel. Tabrani mencari akal agar perhatian pejabat intel itu terpecah.
Beberapa orang dimintai bantuan agar selalu mengajak berbincang mereka. Dr Kayadoe yang datang bersama istrinya, termasuk yang mendapat tugas mengajak berbincang pejabat PID.
"Mereka menunaikan tugasnya dengan baik dan rapi sekali, sebab omong-omong secara santai, penuh lawakan yang lucu-lucu yang rupanya berkenan di hati pejabat-pejabat Belanda, sebab semua di dalam bahasa Belanda yang baik dan sopan walaupun penuh humor," kata Tabrani di laporan dalam bahasa Belanda itu yang diterjemahkan oleh Muh Nur (Takari, 1981). Hasilnya, menurut Tabrani, kongres berjalan lancar sampai selesai.
Kendati begitu, masih menurut laporan Nieuwe Rotterdamsche Courant, di kemudian hari Tabrani dipanggil Penasihat Urusan Pribumi karena kongres ini. Pemanggilan terhadap pribumi yang melakukan pelanggaran tak lagi dilakukan oleh polisi, melainkan oleh pejabat yang ahli dengan masalah pribumi.
Pemanggilan Tabrani terkait dengan pelaksanaan kongres yang membuat gaduh. Pernyataan-pernyataan di kongres memang mendapat perhatian yang luas terkait dengan keinginan menjadikan Indonesia mandiri (het zelfstandig maken van Indonesie).
Pers Belanda yang membuat liputan kongres ini belum memberikan perhatian terhadap bahasa persatuan, karena ikrar pemuda yang disusun Muhammad Yamin tidak jadi dibacakan. Terjadi perdebatan internal Tabrani-Yamin soal bahasa persatuan, tetapi perdebatan itu tak menghasilkan keputusan. Ikrar kemudian dititipkan untuk disampaikan di Kongres Pemuda Indonesia Kedua yang akan diadakan di kemudian hari.
Baca Juga: Tabrani-kah Penggagas Bahasa Persatuan Indonesia?
Dua belas tahun kemudian, Tabrani meraih suara banyak untuk pemilihan anggota Gemeenteraad van Batavia. Pemilihan diadakan pada Agustus 1938. Dari kalangan pribumi, ia meraih suara tertinggi yaitu 1.366 suara, jauh melampau perolehan suara Muhammad Yamin (hanya 306 suara). Yamin bersama tujuh calon lain harus mengikuti pemilihan kedua untuk memilih empat terbanyak untuk bisa bergabung di Gemeenteraad.
Husni Thamrin --yang nantinya menjadi rekan perjuangan Tabrani dalam pemakaian bahasa Indonesia di Gemeenteraad-- memperoleh 1.259 suara. Dahlan Abdullah yang pada 1930 mengalahkan Tabrani untuk pemilihan anggota Volksraad, kali ini hanya memperoleh 1.079 suara. Dahler, anggota Volksraad yang menghadiri Kongres Pemuda Indoneia Pertama, pada 1938 gagal masuk ke Gemeenteraad wakil dari kalangan demokrat, karena hanya memperoleh satu suara.