REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Gedung antik dengan gaya klasisisme yang terletak di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, itu kini merupakan bagian Departemen Luar Negeri RI. Gedung yang diabadikan sekitar tahun 1930-an kini dinamakan Gedung Pancasila sekaligus tempat upacara-upacara resmi Deplu.
Mengapa dinamakan demikian? Karena, dari gedung inilah, Bung Karno pada 1 Juni 1945 berpidato di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian melahirkan dasar negara Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan (18 Agustus 1945), di tempat yang sama berlangsung pelantikan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Pada waktu bersamaan, sidang tersebut juga menetapkan UUD 1945 sebagai falsafah negara.
Di gedung bersejarah inilah, PPKI di bawah pimpinan Bung Karno menandatangani Piagam Jakarta. Isinya berupa saran tentang dasar-dasar negara.
Kala itu, kelompok Islam mengingainkan dibentuknya negara berdasarkan syariat Islam. Sedangkan, kelompok nasionalis dan Kristen menghendaki negara bebas dari pengaruh agama.
Piagam Jakarta ditandatangani sembilan orang yang mencerminkan aliran Islam, nasionalis, dan Kristen. Mereka adalah Bung Karno, Bung Hatta, A Maramis (tokoh Kristen), Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Mohamad Yamin. Tapi, kemudian, terjadi perdebatan dan kompromi.
Kalimat ... menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapuskan. Piagam ini hanya berumur 56 hari. Karena, sehari setelah proklamasi (18 Agustus 1945), piagam ini dicoret.
Meski demikian, perjuangan untuk menggolkan Piagam Jakarta atau berlakunya syariat Islam tidak berhenti hanya karena kesepakatan 18 Agustus 1945. Dalam sidang-sidang Konstituante di Bandung (1955-1959), partai-partai Islam tidak berhenti memperjuangkan syariat Islam di Indonesia.
Gedung bersejarah ini dulunya merupakan tanah pertanian yang berada jauh di luar kota, milik tuan tanah dan petinggi VOC, Anthony Chastelein, yang memiliki tanah serupa di Depok. Gedung ini milik Hertog Bernhard (1792-1862), panglima tentara Belanda di Batavia (1829) dan keturunan Jerman.
Karena itu, Jalan Pejambon ketika itu bernama Hertog Park (Taman Adipati). Sebelumnya, di gedung ini, terdapat tempat penggilingan tebu yang kemudian menjadi tangsi militer saat dibangunnya Weltevreden (daerah yang lebih nyaman).
Gedung ini juga pernah dijadikan tempat sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat) pada 1916-1942 yang anggota-anggotanya ditunjuk gubernur jenderal dan sebagian besar warga Belanda. Sampai 1970-an, gedung tersebut merupakan gedung Departemen Kehakiman. Kemudian, menjadi gedung BP-7 yang dipimpin almarhum Jenderal Sarwo Edhie, mertua Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.