Kamis 13 Jun 2024 18:50 WIB

BRGM Restorasi Gambut Seluas 1,8 Juta Hektare

BRGM melakukan pendekatan 3R dalam melakukan restorasi gambut.

Foto udara truk melintas di areal lahan tanah gambut di kawasan Jalan Nasional Kalimantan Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (9/8/2022).
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Foto udara truk melintas di areal lahan tanah gambut di kawasan Jalan Nasional Kalimantan Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (9/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyatakan sudah melakukan restorasi gambut di lahan sekitar 1,8 juta hektare pada 2016-2023. Sekretaris Utama (Sestama) Ayu Dewi Utari mengatakan, BRGM menargetkan dapa merestorasi gambut seluas dua juta hektare.

Dia mengatakan bahwa BRGM pada 2021-2024 dimandatkan untuk melaksanakan restorasi gambut seluas 1,2 juta hektare di tujuh provinsi prioritas yaitu di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Untuk capaian restorasi gambut yang dilakukan pada 2021-2023, BRGM melakukan pemulihan lahan gambut dengan total 829.550 hektare. Dengan capaian yaitu 288.055 hektare pada 2021, 269.774 hektare pada 2022, dan 271.721 hektare pada 2023.

Baca Juga

Dia menyampaikan bahwa dalam upaya restorasi gambut BRGM melakukan pendekatan 3R yaitu rewetting atau pembasahan kembali lahan, revegetasi atau penanaman kembali, dan revitalisasi ekonomi masyarakat sekitar ekosistem gambut.

Pembasahan kembali dilakukan dengan pembangunan sekat kanal, sumur bor serta beragam upaya lain dalam upaya pembasahan lahan. Dilakukan pula penanaman kembali tanaman yang sesuai dengan ekosistem gambut selain juga mendorong peningkatan kesejahteraan warga sekitar.

Secara khusus, dia menjelaskan, sosialisasi terus dilakukan BRGM untuk mengubah kebiasaan membakar lahan dalam persiapan untuk kegiatan pertanian.

"Jadi, edukasi-edukasi bahwa itu benar, itu tidak benar, memang harus selalu kita kampanyekan kepada masyarakat dan dalam upaya revitalisasi lahan gambut ini salah satu yang kita lakukan adalah memperkenalkan budi daya gambut untuk pertanian semusim," ujarnya.

Perkenalan budi daya itu sudah dilakukan di wilayah Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pendekatan cara pertanian khusus di lahan gambut juga terus didorong, karena memerlukan cara yang berbeda dibanding lahan biasa. Dia juga menjelaskan bahwa BRGM mendorong pemulihan gambut berbasis masyarakat melalui Program Desa Mandiri Peduli Gambut.

Berkat adanya restorasi, Ayu menyebut telah terjadi penurunan kebakaran lahan di ekosistem gambut. Dia mengatakan, kebakaran di lahan gambut memiliki dampak langsung terhadap perubahan iklim, terutama karena perannya sebagai salah satu ekosistem yang menyimpan karbon.

"Tahun 2015 terjadi kebakaran besar dan Alhamdulillah sampai dengan saat ini memang kebakaran sudah menurun. Banyak yang hal dilakukan, memang kalau dikatakan sudah 100 persen kesadaran masyarakat, tidak. Tapi perhatian pemerintah terhadap pengelolaan lahan gambut sudah terjadi," ujar Ayu.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2015 ketika terjadi kebakaran di lahan seluas 2,6 juta hektare sekitar 34 kasus diantaranya adalah lahan gambut. Jumlah itu turun menjadi 16 persen dari luas kebakaran pada 2023 yang tercatat mencapai 1,1 juta hektare.

Dia menjelaskan dampak langsung dekomposisi gambut adalah terjadinya emisi GRK akibat turunnya tinggi muka air gambut. Dengan setiap penurunan muka air gambut sekitar 100 sentimeter menyebabkan emisi berkisar antara 95 ton CO2 per hektare per tahun.

Sebagai salah satu langkah mitigasi perubahan iklim, dia menjelaskan Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan mengurangi emisi dari sektor berbasis lahan dengan mengambil kebijakan moratorium penebangan hutan primer dan pelarangan konversi hutan yang tersisa untuk menekan deforestasi.

Dilakukan pula restorasi fungsi ekosistem dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, termasuk mendorong partisipasi aktif dari pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat.

Semua itu merupakan bagian dari upaya mencapai target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Pemerintah ingin mencapai tingkat penyerapan lebih tinggi dibandingkan emisi yang dihasilkan di sektor kehutanan dan penggunaan lahan di Tanah Air pada 2030.

"Aksi mitigasi yang diharapkan berkontribusi paling besar dalam pencapaian penurunan emisi sektor FOLU adalah penurunan emisi dari kebakaran lahan gambut, deforestasi, dan dekomposisi gambut disertai peningkatan serapan karbon dari rehabilitasi hutan dan lahan, serta pengelolaan hutan produksi lestari," ujarnya.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement