REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Jubir Kemenlu) China, Lin Jian menyebut kelompok G7 tidak mewakili dunia . Sehingga hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 terhadap perekonomian global kecil.
"G7 tidak mewakili dunia. Ketujuh negara tersebut hanya berjumlah 10 persen dari populasi dunia, tahun demi tahun kontribusi mereka dalam perekonomian global terus menurun," kata Lin Jian dalam konferensi pers rutin di Beijing, Senin (17/6/2024).
KTT G7 adalah pertemuan tujuh negara maju, yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis ditambah Uni Eropa untuk mewakili Belgia, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Swedia. Kebetulan mereka semua satu kubu atau koalisi.
KTT G7 berlangsung di Apulia, Italia pada 13-14 Juni 2024, dihadiri Presiden AS Joe Biden, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, PM Kanada Justin Trudeau, PM Rishi Sunak dari Inggris, yang disambut oleh tuan rumah PM Italia Giorgia Meloni.
"Komunike Pemimpin G7 kembali menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan China untuk memfitnah dan menyerang China, menggunakan tuduhan palsu yang sama yang tidak memiliki dasar faktual, hukum atau moral dan penuh dengan arogansi, bias dan kepalsuan," ucap Lin Jian.
Menurut Lin Jian, bahkan jika digabungkan, kontribusi anggota G7 terhadap pertumbuhan ekonomi global lebih kecil dibandingkan China dan agregat ekonomi mereka dalam hal daya beli telah dilampaui oleh negara-negara BRICS.
"G7 telah lama menyimpang dari tujuan awalnya yaitu mengkoordinasikan stabilitas lingkungan ekonomi global karena semakin menjadi alat politik untuk melanggengkan supremasi AS dan negara-negara Barat," ujar Lin Jian.
Dia menyebutkan, meski G7 mengeklaim menjaga perdamaian dunia, kelompok tersebut terus menarik garis batas atas perbedaan ideologi dan nilai-nilai, meningkatkan narasi palsu soal 'demokrasi versus otokrasi', membentuk kelompok eksklusif dan menghasut konfrontasi blok, serta mengobarkan api dan melalaikan tanggung jawab dalam mengatasi konflik regional.
"Mereka mengirimkan kapal dan pesawat militer ke kawasan Asia-Pasifik untuk menciptakan ketegangan dan mempersenjatai Taiwan untuk mengancam perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Tindakan itu mengganggu ketertiban internasional dan membahayakan perdamaian dan keamanan," kata Lin Jian.
Terlebih tuduhan 'kelebihan kapasitas China' yang diajukan G7 tidak didukung oleh fakta atau hukum ekonomi. Lin Jian menuding, hal itu hanyalah sebuah alasan untuk proteksionisme dan melemahkan upaya global untuk transisi ramah lingkungan dan rendah karbon serta kerja sama dalam respons iklim.
"G7 adalah pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas 'pemaksaan ekonomi' karena mereka terus mempolitisasi dan mempersenjatai perdagangan," jelas Lin Jian.
Dalam komunike bersama G7 disebutkan negara-negara G7 "Mengupayakan hubungan yang konstruktif dan stabil dengan China dan menyadari pentingnya hubungan langsung maupun tidak langsung, keterlibatan yang jujur untuk mengelola perbedaan namun kami bertindak demi kepentingan nasional kami."
Negara-negara G7 pun menyerukan agar China mengambil tindakan untuk meningkatkan perdamaian dan keamanan internasional dan bekerja sama dengan G7 untuk mengatasi perubahan iklim, polusi, memerangi perdagangan obat-obatan terlarang, memastikan stabilitas makroekonomi, mendukung ketahanan kesehatan global, dan mengatasi utang negara-negara yang rentan secara berkelanjutan.
Meski menyebut, G7 tidak mencoba untuk merugikan China atau menggagalkan pembangunan ekonominya, mereka mengungkapkan kekhawatirannya terhadap sikap China yang terus-menerus menargetkan industri, kebijakan serta praktik non-pasar komprehensif yang mengarah ke distorsi pasar, dan kelebihan kapasitas yang merugikan di berbagai sektor.
"Kami menyerukan China untuk menahan diri melakukan ekspor langkah-langkah pengendalian, khususnya pada mineral-mineral penting, yang dapat mengarah pada gangguan signifikan atas rantai pasokan global," demikian disebutkan dalam komunike G7.
G7 juga menegaskan dukungannya atas partisipasi Taiwan sebagai anggota dalam organisasi internasional, seperti Majelis Kesehatan Dunia dan pertemuan teknis WHO.
G7 kemudian menyebut sangat prihatin terhadap situasi di Laut Cina Timur dan Selatan dan menegaskan kembali penolakan terhadap segala upaya sepihak untuk mengubah status quo dengan kekerasan atau paksaan, menentang militerisasi, serta aktivitas pemaksaan dan intimidasi China.
Isi komunike yang lain adalah negara-negara G7 prihatin dengan situasi hak asasi manusia di China, termasuk di Tibet dan di Xinjiang terkait kerja paksa serta tindakan keras pemerintah China terhadap Hong Kong karena penerapan pasal 23 di Undang-Undang Dasar yang dinilai membungkam perbedaan pendapat di Hong Kong.