Selasa 18 Jun 2024 15:37 WIB

Ketua Banggar: Perkuat Sinergi untuk Jaga Rupiah

Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengantisipasi kebutuhan likuiditas valas.

Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).
Foto: Dok Republika
Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menyatakan perlu adanya penguatan sinergi antara para pemangku kepentingan untuk menjaga nilai tukar rupiah. Penguatan sinergi penting dilakukan agar nilai tuka rupiah tidak semakin melemah.

Pada akhir perdagangan Jumat (14/6/2024), rupiah melemah 142 poin atau 0,87 persen menjadi Rp 16.412 per dolar AS dari hari sebelumnya yang sebesar Rp 16.270 per dolar AS. Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat ditutup merosot, disebabkan sentimen global terkait pemangkasan suku bunga Amerika Serikat (AS).

Baca Juga

Menurut Said, The Fed dipastikan masih akan bertahan di suku bunga tinggi. "Oleh sebab itu, segenap kekuatan bangsa harus bersama-sama mengikatkan tali gotong royong,” kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (18/6/2024).

Salah satu hal utama yang disorot oleh Said adalah komunikasi publik pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat. Dia berharap pemerintah dapat menyampaikan keadaan seobjektif mungkin agar rakyat bisa mempersiapkan upaya antisipasi sejak sedini mungkin.

Di samping itu, dia juga merekomendasikan sejumlah upaya lainnya. Pertama, memastikan tata kelola devisa, terutama devisa hasil ekspor sumber daya alam, dapat berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa. Pemerintah bisa memberikan kebijakan insentif dan sanksi yang sepadan untuk menopang tata kelola devisa nasional.

Kedua, terus melakukan reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh. “Sebab, aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada kuartal II 2024 (sampai dengan 30 Mei 2024) secara neto tercatat sebesar 3,3 miliar dolar AS. Artinya peluang ini perlu terus dijaga oleh Pemerintah dan Bank Indonesia (BI),” ujar dia.

Ketiga, pengetatan kebijakan impor, terutama pada sektor yang makin menggerus devisa. Dia menilai importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek untuk menambal defisit pangan dan energi yang terus berlanjut.

Keempat, pemerintah perlu memastikan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen yang menarik bagi investor asing, dengan imbal hasil (yield) yang moderat agar tidak menjadi beban bunga. Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, sebab SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kelima, pemerintah perlu memperluas dan makin kreatif untuk menopang kebutuhan pembiayaan di tengah likuiditas nasional dan global yang makin ketat dan terbatas. “Libatkan berbagai organisasi masyarakat dan asosiasi pengusaha yang menghimpun likuiditas besar ikut berpartisipasi dengan saling menguntungkan,” kata dia pula.

Keenam, BI perlu memastikan kebijakan yang bertujuan mengurangi ketergantungan negara terhadap dolar AS dapat terlihat hasilnya. Terakhir, pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengantisipasi kebutuhan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN, dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging, sehingga tidak makin membebani sektor keuangan.

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement