REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang penanganan pemulihan para korban terorisme belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
"Terdapat pengalaman perempuan (korban terorisme) untuk pulih, untuk melanjutkan hidup pascatindakan terorisme di Indonesia yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun publik," kata Anggota Komnas Perempuan Imam Nahe'i di Jakarta, Selasa.
Padahal korban terorisme, terutama perempuan memiliki kerentanan berlapis sebagai dampak dari tindakan terorisme yang terjadi.
"Sementara perlakuan publik maupun lembaga-lembaga negara dan organisasi masyarakat yang bergerak di isu ekstrimisme itu lebih banyak berfokus pada napiter (napi teroris) atau mantan kombatan. Ini yang akhirnya menimbulkan kecemburuan pada penyintas maupun korban dan juga anak-anak," kata Imam Nahe'i.
Komnas Perempuan melakukan kajian dan pemetaan terhadap korban terorisme dan keluarganya di Surabaya, Bali, Poso, dan Jakarta, untuk melihat dampak jangka panjang dari tindakan terorisme dan untuk melihat bagaimana proses pemulihan korban dan rehabilitasi yang berkelanjutan.
Kajian ini juga bertujuan untuk mengikis kecemburuan dari para korban yang merasa kebutuhan-kebutuhan-nya belum terakomodir dengan baik.
Dari kajian tersebut, Komnas menemukan sejumlah hambatan dalam penanganan terhadap korban, diantaranya ketidaksiagaan dalam layanan darurat medis dan psikis pada korban, layanan medis yang parsial dan tidak berkelanjutan, penanganan keamanan yang berlebihan, penanganan yang tidak empati dan tidak berdasar kebutuhan korban, penggunaan kekerasan terhadap korban dengan pemaksaan menandatangani keterangan oleh polisi, pemulihan terbatas dan tidak berlanjut, dan bantuan dana dan kompensasi yang tidak diiringi penjelasan serta tidak merata.