Rabu 26 Jun 2024 16:18 WIB

Jangan Khawatir untuk Mengirim Anak Kuliah di Al-Azhar Mesir

Al Azhar Mesir masih menjadi destinasi favorit belajar

 Suasana Masjid Al-Azhar yang terletak di kawasan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.
Suasana Masjid Al-Azhar yang terletak di kawasan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.

Oleh : Usman Syihab, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo 2016-2020

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Menyusul tersebarnya YouTube dan pemberitaan masif oleh salah satu media tentang studi di Al-Azhar Mesir dan kondisi kehidupan mahasiswa Indonesia di sana, saya ingin cerita tentang hal yang sama tapi dari sudut pandang yang berbeda.

Selama bertugas sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Kairo dari 2016 sampai 2020, saya menjumpai mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Mesir termasuk mereka yang rajin dalam mengikuti perkuliahan di kampus dan rajin mengaji kitab di Jami`(Masjid) Al-Azhar, juga talaqi (sorogan) di berbagai majlis dan dari para masyayikh di Kota Kairo, bahkan di luar Kota Kairo.

Baca Juga

Untuk mahasiswi kita yang putri (banat) relatif rajin-rajin masuk kuliah, lebih rajin dibanding dengan yang putra (banin). Beberapa kali saya mengecek keadaan mereka di fakultas, di kampus Nasr City dan kampus Darrasah, juga dengan mengecek ke beberapa mahasiswa yang ada di kos-kosan atau asrama Buus (asrama yang disediakan Al-Azhar) atau di rumah sekretariat kekeluargaan mereka, baik secara langsung maupun melalui telepon.

Saya selalu menasihati mereka baik dalam forum resmi maupun di luar forum resmi agar mereka rajin belajar dan dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu dan dengan nilai yang membanggakan. Baik yang putri maupun yang putra memang ada yang ketepatan malas, jarang masuk kuliah, tapi dari yang malas kuliah itu pun saya dapati ternyata banyak juga yang dapat naik tingkat dengan baik.

Di antara perbaikan

Al-Azhar sudah beberapa kali membuat kebijakan untuk meningkatkan kedisiplinan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dan untuk memastikan mahasiswa dapat tamat tepat waktu.

Antara lain, dulu mahasiswa diperbolehkan untuk “tahwil”, pindah jurusan dengan mudah, sehingga ketika tidak lulus dua tahun dan akan di-DO mereka bisa pindah ke jurusan lain, yang dengan demikian mereka dapat bertahan lama studi di Al-Azhar.

Satu tahun saya di sana larangan pindah jurusan sudah diberlakukan sehingga mahasiswa harus berusaha menyelesaikan studi dengan tepat waktu. Pernah ada edaran peringatan yang akan men-DO beberapa puluh mahasiswa S-2 dan S-3 kita, karena sudah melampaui batas maksimal masa studi, saya berusaha membantu meraka bernegosiasi dengan Wakil Rektor Akademik agar dapat memberikan masa tambahan sesuai dengan tingkat draf tesis/desertasi yang telah diselesaikan, dan alhamdulillah hampir semua mahasiswa yang akan di-DO itu dapat menyelesaikan tesis dan disertasi mereka dan lulus dalam waktu yang lebih cepat dari batas waktu yang diberikan.

Kebijakan Al-Azhar mendirikan Markaz Lughah Syaikh Zaid (Pusat Bahasa) di tahun 2010 dan mengharuskan setiap calon mahasiswa S-1 Al-Azhar non-Arab masuk Markaz Lughah dan lulus pada level kompetensi bahasa Arab tertentu sebelum dapat resmi masuk jenjang perkuliahan juga merupakan kebijakan yang sangat penting, yang membantu banyak mahasiswa asing dalam meningkatkan kemapuan dasar bahasa Arab dan yang dengan demikian mampu mengikuti perkuliahan dengan lebih baik.

Mereka rajin kuliah dan berhasil

Dengan tingkat kesulitan bahasa dan materi kuliah serta miliu pembelajaran yang menantang, dalam ujian akhir/kenaikan di Al-Azhar, prestasi mahasiswa kita masih cukup bisa kita banggakan.

Dari data yang kita peroleh dari laporan ketua-ketua senat mahasiswa Indonesia di masing-masing fakultas untuk hasil ujian akhir/ kenaikan jenjang S-1 2019 menunjukkan bahwa dari 3.514 mahasiswa yang mengikuti ujian kenaikan, sebanyak 2.699 (77 persen) sukses lulus/naik kelas, dan sebanyak 815 (23 persen) tidak lulus/tidak naik.

Tingkat kelulusan/naik kelas mahasiwi (putri) lebih tinggi sebanyak 84.7 persen (899) dibanding putra sebanyak 73 persen (1.800). Jumlah itu di luar mahasiswa kita yang di Ma'had Azhar (MTs/MA), Dirassah Khassah (kelas khusus), Markaz Lughah, juga di luar yang S-2 dan S-3.

Kita juga bersyukur sering menyaksikan atau mendengar mahasiswa S-2 atau S-3 kita yang lulus dalam munaqasah atau ujian terbuka mempertahankan tesis/disertasi mereka, yang jarang terjadi pada mahasiswa dari negara lain.

Selain kuliah di kampus, mahasiswa Indonesia adalah mahasiswa yang rajin mengaji atau talaqi kitab tertentu pada majlis/masjid atau syaikh tertentu di Mesir. Ketika ada kekhawatiran terhadap beberapa masyayikh/tempat ngaji memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, yang dilarang pemerintah Mesir, pada pertengahan 2017 Al-Azhar membuka besar-besaran majelis-majelis ngaji di Jami` Al-Azhar bagi mahasiswa yang ingin mengaji secara tradisional.

Saya mendatangi Syaikh yang juga seorang profesor penanggungjawab program tersebut, dan minta agar program itu dapat menampung sebanyak mungkin mahasiswa asal Indonesia. Alhamdulillah anak-anak kita banyak yang belajar ngaji kitab di Jami` Al-Azhar tersebut. Demikian tradisi menuntut ilmu di Al-Azhar yang sejak dulu menggabungkan dua sumber; aljamiah (universitas) dan aljami` (masjid), yang mengajarkan Islam dalam perspektif yang moderat dan terbuka.

Untuk mengatasi kesulitan memahami mata kuliah, diantara mahasiswa kita juga membuat kelompok-kelompok studi dan mendatangkan kakak kelas yang berprestasi untuk membimbing adik kelas mata kuliah tertentu yang dianggap sulit.

Mahasiswa kita juga banyak yang menjadi pengajar bagi mahasiswa asing lainnya khususnya yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand dan Filipina, baik mengajar kitab turas tertentu, maupun mengajar atau membimbing baberapa mata kuliah yang dianggap sulit.

Sambil belajar wirausaha

Sebelum bertugas sebagai Atdikbud (Atase Pendidikan dan Kebudayaan), dulu di tahun 1988-1992 saya juga kuliah di Al-Azhar di Fakultas Usuluddin jurusan Akidah dan Filsafat. Dulu, pada liburan musim panas saya sering keluyuran untuk mencari kerja, karena saya tidak dapat beasiswa juga tidak mungkin dapat kiriman dari kampung. Saya harus kerja untuk mampu hidup.

Saya kerja cari duit di Makkah saat musim haji, juga cari duit sampai ke Jerman dan Belanda. Sering tidak masuk kuliah karena alasan itu. Tapi alhamdulillah atas kehendak Allah SWT, saya dapat belajar cepat pada waktu yang sempit, dan dapat lulus setiap tahun, dan bahkan menjadi mahasiswa lulusan terbaik dalam jurusan itu secara nasional dan dimuat dalam sebuah koran nasional Mesir.

Pada zaman saya kuliah, tidak ada mahasiswa yang buka rumah makan untuk mencari duit biaya hidup di rantau, hanya ada yang membuat tempe waktu itu. Tidak seperti yang terjadi 23 tahun berikutnya, saat saya bertugas di Mesir, di mana mahasiswa banyak yang buka usaha kuliner, dan hari ini jumlah itu bertambah banyak.

Menurut saya mereka yang mampu membuka rumah makan adalah orang-orang yang cerdas dan kreatif, memiliki jiwa intrepreneurship/kewirausahaan yang tidak semua orang mampu.

Mereka mampu menghidupi dirinya, untuk beaya hidup selama kuliah, memberi penghasilan kawan yang bekerja dan membantu mahasiswa lain untuk dapat menikamati makanan kampungnya di negeri orang.

Selain usaha kuliner....

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement