Jumat 28 Jun 2024 06:39 WIB

Mengenang Tragedi Terorisme di Makkah 1979: Kala Rencana Disusun

Musim haji pada tahun 1979 M/1400 H diusik oleh serangan teroris di Masjidil Haram.

Juhaiman al-Utaibi. Dialah yang memimpin serangan terorisme di Masjidil Haram, Makkah, 1979.
Foto: dok wiki
Juhaiman al-Utaibi. Dialah yang memimpin serangan terorisme di Masjidil Haram, Makkah, 1979.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Madinah, Juhaiman al-‘Utaibi bergabung dengan kelompok al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba yang didirikan pada pertengahan 1960-an oleh sejumlah murid Syekh al-Albani. Pada mulanya, Juhaiman termasuk taat pada pemuka gerakan tersebut. Ia ikut menggalang dana untuk kelangsungan organisasi ini, mengikuti jejak Syekh Abdul Aziz bin Baz--seorang ulama Arab Saudi yang kelak pada 1993-1999 menjadi mufti utama Kerajaan.

Selama di Kota Nabi, Juhaiman al-‘Utaibi tinggal di sebuah tempat tinggal sederhana yang cukup dekat dengan Masjid Nabawi. Beberapa tahun menetap di sana, ia memiliki sejumlah pengikut setia, terutama dari mereka yang berusia lebih muda. Para simpatisannya itu mengikuti laku hidupnya yang berusaha menjalani rutinitas “sebagaimana petunjuk Alquran dan Sunnah.” Nash-nash sering kali dibaca secara harfiah untuk membenarkan kesehariannya.

Baca Juga

Juhaiman menyebut para pengikutnya sebagai penghuni “rumah untuk para kawan” (Bait al-Ikhwan). Kemudian, pada 1977 Syekh Ibnu Baz bertolak ke Riyadh—ibu kota Saudi. Perlahan namun pasti, Juhaiman sejak saat itu menjadi pemimpin de facto di al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba, khususnya dalam hal merekrut pemuda-pemuda. Seiring dengan meningkatnya pengaruh dirinya, ia pun mulai membangun kekuatan di internal organisasi tersebut.

Maka, terpecahlah al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba menjadi dua kubu, yakni kaum tua dan kaum muda yang dipimpin Juhaiman. Dalam suatu kesempatan, Juhaiman menuding bahwa golongan tua telah berkhianat pada “Islam yang sesungguhnya” karena mereka dinilainya sudah menjual diri pada penguasa Saudi.

photo
Syekh Abdul Aziz bin Baz - (dok wiki)

Dari Madinah, Juhaiman yang telah memiliki gerakan de facto sendiri—bernama al-Ikhwan—lalu bertolak ke Riyadh. Pada 1978, ia dan sekira 100 orang simpatisan ditangkap aparat keamanan Saudi usai berdemonstrasi. Namun, mereka semua lalu dibebaskan setelah pemerintah setempat mendengarkan pertimbangan Syekh Ibnu Baz, yang mengunjunginya di penjara.

Saat berdiskusi, Syekh Ibnu Baz bertanya kepada (mantan) pengikutnya itu tentang alasannya menentang pemerintah. Juhaiman menjawab, pemerintah Saudi dinilainya telah berkhianat pada rakyat karena melakukan penyimpangan-penyimpangan dari syariat. Dinasihati beberapa kali, tetap saja pemuka al-Ikhwan ini bersikeras pada pandangannya.

Bagaimanapun, Syekh Ibnu Baz tidak ingin (mantan) muridnya itu terkekang dalam penjara. Harapannya, di alam bebas ia dapat kembali pada jalan berislam yang moderat. Maka, sang syekh meminta pemerintah agar mengeluarkan tahanan itu dari dalam penjara dengan pertimbangan Juhaiman “tidak berbahaya.”

Sementara itu, Juhaiman tidak mengubah pendiriannya begitu keluar dari penjara. Ia menikah dengan saudara perempuan Muhammad bin Abdullah al-Qahtani. Kemudian, dirinya menyatakan bahwa saudara iparnya itu sebagai “imam mahdi” yang ditunggu-tunggu kedatangannya untuk mengembalikan umat Islam kepada jalan yang lurus. Sembari terus meningkatkan kemampuan para pengikutnya dalam menggunakan persenjataan, ia pun menyusun rencana untuk menguasa Makkah al-Mukarramah sekalipun dengan cara paksaan dan kekerasan. [BERSAMBUNG]

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement