REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun setelah Pembebasan Makkah (Fath Makkah), kondisi fisik Nabi Muhammad SAW mulai menurun. Setelah musim haji, sakit yang dialami Rasulullah SAW kian menunjukkan gejala.
Akhirnya, beliau berpulang ke rahmatullah. Seluruh kaum Muslimin berduka cita.
Bahkan, Umar bin Khattab sempat mengingkari kepergian Rasulullah SAW untuk selamanya. Hingga Abu Bakar ash-Shiddiq menenangkannya.
Saat jenazah Rasulullah SAW menjelang dimakamkan, Bilal bin Rabah berdiri untuk mengumandangkan azan. Tiba di lafaz, "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah", suaranya menjadi terbata-bata.
Kesedihan menguasai dirinya. Segenap kaum Muslimin menangis. Sosok mulia yang teramat dicintai itu telah meninggal dunia.
Sebuah riwayat menyebutkan, Bilal bin Rabah semenjak wafatnya Rasulullah SAW hanya melakukan azan tiga hari. Sebab, tiap sampai pada lafaz, "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah", ia selalu tersungkur dan menangis.
Siapapun Muslim yang mendengarkannya juga akan turut terbawa suasana. Terkenang lagi bagaimana saat-saat Rasulullah SAW masih ada di tengah umat.
Sedemikian sedihnya Bilal, sampai-sampai ia meminta izin kepada khalifah agar boleh pergi dari Madinah. Sebab, kenangan akan tetap menghantuinya.
Bermimpi
Sampailah hari ketika Nabi Muhammad SAW mendatangi Bilal bin Rabah melalui mimpi. Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Wahai Bilal, mengapa engkau tidak pernah menjengukku lagi?"
Sahabat yang berasal dari Afrika itu terkejut. Ia pun langsung terbangun. Bilal bagaikan terpukul lantaran kata-kata Rasulullah SAW itu. Dengan segera, dirinya menuju Madinah.
Kedatangan Bilal bin Rabah diterima dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain. Keduanya lantas meminta agar sang sahabat Nabi mengumandangkan azan begitu waktu shalat tiba.