Ahad 30 Jun 2024 11:46 WIB

Perubahan Iklim Menambah Penderitaan Pemulung India

Mereka mencoba menghindari bekerja karena panas.

Rep: Lintar Satria/ Red: Lida Puspaningtyas
Pemulung (Ilustrasi).
Foto: ANTARA FOTO/Henry Purba
Pemulung (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Bau busuk dari pembakaran sampah di tempat penampungan sampah (TPS) di Jammu, India, tercium hingga bermil-mil jauhnya. Aroma itu berpotensi membawa racun yang berasal dari sampah plastik, industri, medis dan sampah lainnya dari 740 ribu populasi kota itu.

Namun sejumlah pemulung mengabaikan bau asap dan panas matahari untuk memilah sampah-sampah tersebut. Mereka mencari apa pun yang dapat dijual untuk pendapatan yang paling banyak setara 4 dolar AS per hari.

Baca Juga

"Bila kami tidak melakukan ini, kami tidak bisa membeli makanan, kami mencoba beristirahat selama beberapa menit ketika cuaca terlalu panas, tapi sebagian besar kami terus bekerja sampai kami tidak sanggup lagi," kata Usmaan Shekh, Ahad (30/6/2024).

Pria berusia 65 tahun itu dan keluarganya bagian dari sekitar 1,5 sampai 4 juta orang yang memilah sampah sebagai mata pencaharian di India. Perubahan iklim membuat pekerjaan mereka menjadi lebih berbahaya dari sebelumnya.

Rata-rata suhu di musim panas di Kota Jammu yang terletak di kaki pegunungan Himalaya, utara India, dapat mencapai 43 derajat Celsius. Satu orang yang meninggal dunia akibat gelombang panas di utara India baru-baru ini diidentifikasi sebagai pemulung.

Para ahli mengatakan bagian dalam TPS itu sendiri mendidih saat terjadi dekomposisi dan panasnya suhu di musim panas mempercepat dan mengintensifkan proses tersebut. Naiknya emisi gas seperti metana dan karbon dioksida juga berbahaya bagi pernapasan. Kebakaran di TPS juga biasanya terjadi musim panas.

Terlihat api kecil di tumpukan besar sampah, mengepulkan asap saat dua orang pria mengangkut terpal usang yang sarat dengan sampah. Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun menggenggam sandal plastik.

Sementara para pemulung lainnya sesekali berteduh dari panas. Burung-burung beterbangan di atas kepala mereka, sesekali hinggap untuk mencari sisa-sisa sampah yang bisa dimakan.

Data pemerintah menunjukkan India menghasilkan 65 juta ton sampah setiap tahunnya. Sejumlah TPS di negara itu seperti TPS Ghaziabad di pinggir New Delhi terlihat seperti gunung sampah.

Undang-undang pemerintah tahun 2016 yang mewajibkan sampah berbahaya dipisahkan dari sampah lainnya tidak ditegakkan dengan tegas. Hal ini menjadi resiko tambahan bagi pemulungan.

"Karena sebagian besar mereka hanya menggunakan tangan, mereka sudah terkontaminasi semuanya dari mulai popok sampai suntikan diabetes," kata pendiri lembaga penelitian Chintan Environmental Research and Action Bharati Chaturvedi.

Chaturvendi yang sudah bekerja dengan pemulung selama lebih dari dua dekade mengatakan panas ekstrem menambah resiko pemulung yang sudah mengalami diskriminasi sosial dan kondisi kerja yang buruk.

"Ini tahun yang sangat-sangat buruk, mereka sudah memperkirakan akan menderita akibat panas dan itu membuat mereka sangat cemas, karena mereka tidak tahu apakah mereka akan selamat, apakah mereka bisa melewati (musim panas) ini," katanya.

Chaturvendi mengatakan panas tahun ini "yang paling buruk dari yang dapat dibayangkan."

"Sungguh sangat sedih melihat bagaimana orang-orang miskin mencoba untuk tetap hidup, hanya dengan membawa tubuh mereka dan mencoba untuk mencapai akhir dari gelombang panas ini dalam keadaan utuh," tambahnya.

Pakar kesehatan masyarakat mengatakan orang-orang yang terpaksa bekerja di luar ruangan yang paling beresiko terpapar panas berkepanjangan. Resiko bekerja di luar ruangan saat panas menyengat antara lain penyakit ginjal kronis, penyakit jantung dan heatstroke.

"(Pemulung) termasuk kelompok paling rentan dan terpapar panas paling tinggi," kata ketua tim daya tahan iklim di Natural Resources Defense Council, India, Abhiyant Tiwari.

Pemulung di TPS Bhalswa di New Delhi Ruksana Begum mengatakan beberapa orang pemulung di kota yang menghasilkan 4,2 juta ton sampah per tahun mengurangi makan mereka dari dua menjadi satu kali sehari.

"Mereka mencoba menghindari bekerja karena panas sebab bila mereka bekerja mereka akan lebih banyak menghabiskan banyak uang untuk rumah sakit dibandingkan makan," kata perempuan 41 tahun itu.

Tiwari dan Chaturvendi mengatakan sangat penting memberi akses pasokan air, tempat berteduh dan bangunan yang relatif dingin pada para pemulung. Para pemulung juga harus diminta tidak bekerja saat cuaca terlalu panas dan diberi akses medis yang memadai.

Tiwari mengatakan India mengambil langkah cukup signifikan untuk meredakan panas. Tapi mengimplementasikan rencana-rencana upaya itu di seluruh negeri sangat menantang.

"Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk melindungi mereka (pemulung)," kata Tiwari.

Salah satu langkah yang bisa membantu adalah menawarkan mereka air bila mereka berada di dekat rumah bukannya mengusir mereka. Pemulung TPS Bhalswa lainnya Geeta Devi mengatakan ketika ia merasa pusing karena panas ia berteduh dan seseorang menawarinya air atau makanan.

Namun ia tetap harus bekerja untuk mendapatkan 150 sampai 200 rupee atau 2,40 dolar AS per hari untuk memberi makan anak-anaknya.

"Panas menyulitkan pekerjaan saya, tapi saya tidak memiliki pekerjaan lain," kata perempuan 55 tahun itu.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement