Sabtu 06 Jul 2024 18:05 WIB

'Nasabku dengan Rasulullah bukan Jaminan Keselamatanku'

Zainul Abidin menyatakan ini saat disebut hubungan nasabnya dengan Rasulullah SAW.

Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Suatu ketika, Zainul Abidin seorang alim keturunan Rasulullah SAW sedang berdoa dengan khusyuknya di dekat Kabah.
Foto: AP Photo/Rafiq Maqbool
ILUSTRASI Suatu ketika, Zainul Abidin seorang alim keturunan Rasulullah SAW sedang berdoa dengan khusyuknya di dekat Kabah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu malam, Thawus bin Kisan melihat Ali bin Husain--sosok yang lebih dikenal sebagai Zainul Abidin--di pelataran Ka’bah. Setelah didekati, terdengar bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Fathimah az-Zahra binti Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib itu sedang berdoa.

Dengan penuh pengharapan (tadharru’), Zainul Abidin tampak sedang merendahkan dan menghinakan dirinya sendiri. Ia pun terdengar menangis. Air mata berderai di pipinya.

Baca Juga

Dalam munajatnya, Zainul Abidin bermohon kepada Allah SWT. Kiranya, sudilah Tuhan semesta alam memberikan ampunan kepadanya.

Setelah Zanul Abidin alias Ali bin Husain menyelesaikan munajatnya, Thawus pun menghampiri. Ia berkata, "Wahai cicit Rasulullah SAW, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain?"

Adapun kekhususan-kekhususan yang dimaksud ialah sebagai berikut. Pertama, Zainul Abidin adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Kedua, dirinya akan mendapat syafaat dari Rasulullah SAW. Terakhir, demikian menurut Thawus dan alim sezamannya, keluasan rahmat Allah untuk Ahlul Bait, termasuk Ali bin Husain.

Mendengar pernyataan Thawus itu, Zainul Abidin terdiam. Ia lalu menjelaskan bahwa semua hal tersebut bukan jaminan bahwa dirinya akan mudah mendapatkan maghfirah Allah Ta'ala.

Zainul Abidin berkata, "Ketahuilah, hubungan nasabku dengan Rasulullah SAW bukan jaminan keselamatanku di akhirat sana. Ingatlah firman Allah SWT (yang artinya), ‘Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya'" (QS al- Mu`minun: 101).

Adapun mengenai syafaat Rasulullah, ingatlah bahwa Allah berfirman (yang artinya), "... Dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai (Allah), dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya" (QS al-Anbiya`: 28).

Terkait rahmat-Nya, ingatlah bahwa Allah berfirman (yang artinya) "Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan" (QS al-A’raf [7]: 56)."

***

Kisah di atas mengajarkan kepada kita pentingnya bersikap penuh harap dan merendahkan diri (tadharru’) dalam berdoa kepada Allah SWT. Sebab, inilah sebaik-baiknya etika seorang hamba kepada Tuhannya.

اُدۡعُوۡا رَبَّكُمۡ تَضَرُّعًا وَّخُفۡيَةً‌ ؕ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الۡمُعۡتَدِيۡنَ

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS al-A’raf: 55).

Tadharru’ merupakan akhlak dan etika yang harus kita bangun ketika membina hubungan dengan Allah SWT. Hal ini kita lakukan sebagai wujud penghambaan diri kita kepada Zat Penguasa segala alam semesta.

Imam Ahmad bin Hambal membuat pengibaratan ihwal tadharru' sebagai berikut. "Bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu yang digunakannya supaya terapung."

"Ia menjadi semakin lemah dan gelombang air mendorongnya semakin dekat pada kematian. Bayangkanlah, ia dengan tatapan matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit dengan putus asa sambil berteriak, 'Ya Tuhanku, ya Tuhanku!'"

"Bayangkanlah, betapa putus asanya dia dan betapa tulusnya ia meminta pertolongan kepada Tuhan. Itulah yang disebut dengan tadharru’ di hadapan Tuhan." 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement