REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Status Jakarta menjadi ibu kota negara selangkah lagi akan berakhir. Pemerintah hanya tinggal menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk memindahkan ibu kota ke Nusantara usai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) disahkan.
Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Joko Agus Setyono mengatakan, Jakarta saat ini sedang bertranformasi dari ibu kota negara menjadi kota bisnis berskala global. Dia menyebut, Jakarta akan berfungsi sebagai bagian dari jaringan ekonomi dunia yang memiliki dampak langsung pada tataran global.
"Ada beberapa hal yang memang menurut kami, kalau Jakarta dituntut menjadi kota global, tentunya memerlukan anggaran yang cukup besar," kata Joko saat membuka kegiatan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi DKJ di Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Dia menyebutkan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta telah melakukan kalkulasi kebutuhan anggaran untuk bisa menjadi kota global. Menurut Joko, kebutuhan anggaran agar Jakarta bisa setara dengan kota-kota global di dunia mencapai Rp 600 triliun.
Sementara itu, APBD DKI Jakarta saat ini berkisar antara Rp 80-Rp 84 triliun. Dari total APBD itu, sekitar 30 persen digunakan untuk belanjar bantuan sosial. Sedangkan untuk belanjar atau kebutuhan pegawai mencapai Rp 34 persen.
Joko menjelaskan, untuk kebutuhan belanja modal, Pemprov DKI Jakarta masih berupaya untuk meningkatkan alokasi menjadi 19 persen dari total APBD. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, alokasi belanja modal seharusnya bisa mencapai 40 persen.
"Nah gap antara kebutuhan antara anggaran dari Rp 600 triliun, kami topang dengan anggaran belanja modal yg sekarang ini hanya sekitar 19 persen, asih jauh dari apa yang harus kami siapkan," ujar Joko.
Karena itu, menurut dia, Pemprov DKI Jakarta terus berupaya melakukan efisiensi anggaran di setiap sektor. Dengan begitu, cita-cita Jakarta menjadi kota global bisa terwujud.
"Berbeda dengan daerah provinsi khusus ya seperti Yogyakarta, Papua, kemudian Aceh, Jakarta tidak mendapatkan alokasi dana khusus. Karena itu, diperlukan kreativitas oleh para pengelola, para pegawai Pemprov DKI, untuk bisa melakukan creative financing supaya paling tidak kita ada peningkatan pendapatan," kata Joko.