Namun, pendapat ini menerima sanggahan dari berbagai kalangan. Syekh al-Mufid (1022 M) melihat kecenderungan berbahaya dalam pernyataan itu. Dengan mengikrarkan konsep kemutlakan taqiyah, pada masa depan tak ada ada satu pun pernyataan, bahkan menyangkut taqiyah itu sendiri, yang dapat diterima begitu saja.
Para pendukung Syiah, kemudian dan kini, memahami sepenuhnya paradoks tersebut. Untuk itu, Syekhal-Mufid tergerak menyusun aturan yang lebih tepat bagi penggunaan taqiyah. Kurang lebih intinya, kewajiban taqiyah tidak sama bagi semua orang ataupun dalam semua keadaan. Atas dasar ini pula, taqiyah dinyatakan sebagai kewajiban, tetapi yang tidak bersifat mutlak.
Doktrin dan praktik taqiyah masih berlangsung dan dilaksanakan secara luas oleh kaum Syiah dan minoritas lainnya. Penggunaan prinsip taqiyah lebih banyak populer dan memang tetap diakui oleh kalangan Syiah secara umum. Pada masa yang lebih modern—khususnya, setelah Dinasti Shafawiyah (1501-1722 M) yang menjadikan Syiah 12 Imam sebagai agama Iran—perlunya sebuah doktrin taqiyah yang universal lenyap.