REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai negara yang termasuk kawasan Cincin Api (Ring of Fire), Indonesia memiliki ratusan gunung. Menurut data yang dikutip dari laman Fakultas Geografi UGM, RI memiliki 13 persen dari jumlah gunung api di dunia, yaitu sebanyak 129 gunung dengan status aktif serta gunung tidak aktif sebanyak 500 gunung. Dari seluruh pulau besar di Nusantara, hanya Kalimantan yang tidak mempunyai sebaran gunung api.
Salah satu gunung berapi di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, adalah Gunung Gede Pangrango atau biasa disebut Gunung Gede. Secara administratif, ia berada di dua wilayah kabupaten, yakni Cianjur dan Sukabumi, dalam Provinsi Jawa Barat.
Dengan ketinggian antara 1.000 hingga 2.958 mdpl, Gunung Gede memiliki suhu udara yang sejuk atau bahkan dingin. Rata-rata suhu di puncaknya adalah 18 derajat celsius pada siang hari, sedangkan pada malamnya mencapai kisaran 5 derajat celsius.
Sejak beberapa waktu belakangan hingga kini, suhunya bahkan menjadi lebih rendah lagi. Gunung Gede Pangrango membeku di puncak musim panas pada Juli 2024. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango mencatat, suhu mencapai 0 derajat celcius.
Seperti umumnya gunung, ia pun menarik perhatian banyak orang untuk "menaklukkannya." Terlebih lagi, bentang alam yang dimilikinya pun sangatlah indah dan bahkan unik. Hutan pegunungan di kawasan ini merupakan salah satu yang paling kaya jenis flora di Indonesia.
Untuk mencapai lokasi Taman Nasional Gede Pangrango, pendaki dapat menempuh rute via Cibodas. Bila berangkat dari Bandung, ibu kota Jawa Barat, maka pelancong dapat lewat Cipanas dan Cibodas dengan waktu tempuh sekira dua jam.
Sejak zaman kolonial, mulai muncul catatan dari bangsa Eropa mengenai Gunung Gede. Pada Februari 1815, gubernur jenderal Hindia Belanda untuk Britania Raya, Thomas Stamford Raffles (wafat 1826) berhasil mencapai puncak Gunung Gede.
Kemudian, pada 1819 Prof Caspar Georg Karl Reindwardt, akademisi Universitas Harderwijk, menjadi orang Belanda pertama yang sampai di puncak gunung tersebut. Caspar Reindwardt juga kelak dikenang sebagai pendiri Kebun Raya Bogor.
Selanjutnya, orang-orang Eropa yang mencicipi rute pendakian Gunung Gede antara lain adalah Franz Junghuhn (dokter Belanda-Jerman); Johannes Elias Teijsmann (ahlo botani Belanda, wafat 1882); Alfred Wallace (naturalis Inggris, wafat 1913); Sijfert Koorders (aktivis perlindungan alam, wafat 1919); Melchior Treub (botanis Belanda, wafat 1910); dan Cornelis van Steenis.
Nama yang terakhir disebut itu kemudian membuat koleksi tumbuhan yang ditelitinya pada Gunung Gede. Catatannya lalu menjadi bahan penyusunan buku The Mountain Flora of Java, terbit pada 1972.
Meletus dahsyat
Dalam catatan orang-orang Eropa, Gunung Gede Pangrango diketahui pernah meletus pada 1747. Waktu itu, skala ledaknya mencapai VEI-3. Akibatnya, dua aliran lava bergerak dan tampak. Kemudian, letusan yang lebih kecil terjadi pada tahun-tahun 1761, 1780, dan 1832.
Tepat pada jam 03.00 WIB dini hari pada tanggal 12 November 1840, Gunung Gede meletus dahsyat. Skala ledaknya menyentuh level VEI-3. Sontak penduduk sekitar yang sedang tertidur pulas pun terbangun dan lari menyelamatkan diri. Barulah pada Maret 1841, gunung ini berhenti "batuk-batuk." Imbas dari kejadian itu, Keresidenan Priangan yang semula beribu kota di Cianjur pindah ke Bandung.