REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan menilai fenomena penurunan suhu yang mencolok atau bediding memiliki kaitan dengan fenomena Bumi berada pada jarak terjauh dari Matahari atau aphelion. Ia menilai, fenomena penurunan suhu yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia pada belakangan ini memiliki kaitan dengan aphelion, meskipun secara tidak langsung.
Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa berita yang sempat beredar tentang fenomena yang dikaitkan dengan aphelion tersebut tidak sepenuhnya salah.
"Sekilas memang iya, seperti tidak ada kaitannya, karena memang jauh sekali jika dibandingkan dengan dampak yang terjadi di beberapa kota di Indonesia," kata Eddy dalam gelar wicara yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (26/7/2024).
Eddy menjelaskan, beberapa wilayah Indonesia di Bumi bagian selatan dan bertipe monsunal seperti Pulau Jawa, Bali, serta Nusa Tenggara mengalami penurunan suhu udara pada 15 Juli lalu. Seperti Bandung yang suhunya turun mencapai suhu terendahnya tahun ini dengan 15 derajat Celsius, di mana suhu udara pada belakangan ini tercatat di sekitar 22 derajat Celsius.
Sedangkan di wilayah Indonesia yang terletak di Bumi bagian utara seperti Medan dan Pontianak, paparnya, hanya mengalami penurunan yang sedikit dan tidak signifikan, dari sekitar 28 derajat menjadi 24-25 derajat Celsius. Eddy menyebut peristiwa itu terjadi setelah adanya aphelion, yang pasti terjadi setahun sekali sebelum tanggal 8 Juli.
"Jika memang (informasi) ini hoaks, maka pertanyaannya adalah apakah ada satu atau dua kota, khususnya di kawasan timur Indonesia yang suhu udaranya jauh di bawah suhu terendahnya, jauh sebelum terjadinya aphelion," ujarnya.
Meski demikian, Eddy mengonfirmasi adanya penurunan suhu yang terjadi diakibatkan oleh bertiupnya udara dingin dari wilayah Australia, sebagaimana yang selama ini diberitakan. Namun, ia mengungkapkan udara dingin dari wilayah Australia tersebut bertiup dari wilayah Kutub Selatan yang menjadi lebih dingin, akibat fenomena aphelion tersebut yang menyebabkan wilayah bumi bagian selatan tidak mendapatkan panas matahari sama sekali.
"Dugaan saya, boleh dicek, hampir semua kawasan bertipe monsunal khususnya, yang mengalami fenomena suhu rendah, sebagian besar terjadi setelah peristiwa aphelion muncul, karena adanya lag-time atau jeda waktu," tegasnya.
Eddy meminta kepada para periset untuk kembali memusyawarahkan hal tersebut, dengan tidak hanya berfokus pada hembusan udara dingin dari Australia, namun juga diikuti dengan penelitian sebab lainnya.
"Dengan kata lain, evolusi pergerakan semu Matahari terhadap Bumi akan diikuti dengan evolusi suhu permukaan bumi. Polanya mirip, namun ada jeda waktu," ucap Eddy Hermawan.