REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wage Rudolf Soepratman mengira bahwa dirinya hanya orang biasa. Bagaimanapun, sebagai orang Indonesia, ia ingin mempersembahkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya.
Pada suatu hari, wartawan yang piawai memainkan instrumen musik ini secara kebetulan membaca artikel berjudul "Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat." Tulisan itu dimuat dalam majalah Timboel terbitan Solo.
Hati Soepratman tergerak. Tulisan itu seolah ditujukan kepada dirinya.
Tidak ada catatan yang pasti kapan Soepratman menulis lagu kebangsaan. Ada pendapat yang menyatakan ia menciptakannya tahun 1926.
Pada Kongres Pemuda Pertama (1926), Soepratman yang hadir ingin menawarkan kepada ketua kongres agar ia diberi kesempatan memperdengarkan lagu itu di hadapan para peserta.
Tetapi, saat itu keberaniannya belum cukup. Ia membatalkan niatnya. Baru pada Kongres Pemuda Kedua, tanggal 28 Oktober 1928, pada malam penutupan, WR Soepratman dengan gesekan biolanya mengiringi sebarisan paduan suara membawakan lagu Indonesia Raya.
Dua bulan kemudian, ode tersebut menjadi sangat populer. Anggota Kepanduan Indonesia termasuk salah satu pihak yang memperkenalkan lagu tersebut ke masyarakat. Karena, di dalamnya ada kata-kata "menjadi pandu ibuku."
Soepratman juga telah mengabadikan lagu perjuangan itu ke dalam piringan hitam. Gagal menghubungi His Master Voice di Inggris, ia kemudian menghubungi Yo Kim Tjan. Sampai suatu ketika, di studio yang bersahaja, Soepratman memainkan biola sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan dua irama, mars dan keroncong.