REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari sekian banyak kuliner Nusantara, sate merupakan makanan yang digemari oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Sukarno. Bahkan di hari pertama pascadilantik menjadi Presiden pada 18 Agustus 1945, perintahnya yang pertama sebagai kepala negara justru kepada penjual sate.
Sebagaimana dinukil dari buku karya Hendri Suseno berjudul Bung Karno The Unforgettable Superhero, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang di Gedung Road Van Indie di Jalan Pejambon. Dalam sidang yang digelar pada 18 Agustus 1945 tersebut, ditunjuklah Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Negara Indonesia yang saat itu baru berumur satu hari, maka tidak ada mobil Kepresidenan yang bisa mengantar jemput Bung Karno. Sang RI-1 pun pulang dengan berjalan kaki.
Dalam perjalanan pulang, Sukarno bertemu dengan penjual sate tanpa alas kaki di pinggir jalan. Karena lapar, suami Fatmawati itu kemudian memanggil dan memerintahkan si penjual untuk membakarkan sate untuknya.
"Sate ayam 50 tusuk!" ujar Sukarno. Itulah perintah pertama dirinya sebagai Presiden RI kepada warga.
Sukarno kemudian menikmati satenya dengan berjongkok di pinggir got dan dekat tempat sampah. Bung Karno memakannya dengan lahap dan segera menghabiskan 50 tusuk sate ayam tersebut.
Kondisi fisik Sukarno dan juga Bung Hatta pada sehari dan ketika Proklamasi RI sesungguhnya tidak fit 100 persen. Bahkan, Bung Karno sempat mengalami kambuh malaria.
Namun, tekad dan gelora jiwa keduanya mengalahkan penyakit yang mendera. Hingga akhirnya, Bung Karno dan Bung Hatta menyampaikan Proklamasi RI, atas nama bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Kembali di rumah, Sukarno mengabarkan kepada istrinya, Fatmawati, bahwa dirinya telah dipilih menjadi Presiden RI.
Menurut Bung Karno dalam autobiografi yang disusun Cindy Adams, Fatmawati mendengarnya tidak lantas bersorak girang, apalagi melompat-lompat. Dengan tenang, sang Ibu Negara menceritakan peristiwa masa lalu.
Bahwa apa yang terjadi pada suaminya itu telah diramalkan oleh ayahnya. "Di malam sebelum Bapak meninggal, hanya tinggal kami berdua yang belum tidur," ujar Fatmawati memulai ceritanya.
"Aku memijitnya untuk mengurangi rasa sakitnya, ketika tiba-tiba beliau berkata, 'aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi, dalam waktu dekat, anakku akan tinggal di Istanah yang besar dan putih itu'. Jadi ini tidak mengagetkanku, tiga bulan yang lalu, bapak sudah meramalkannya," ungkap Fatmawati tenang.