Sabtu 17 Aug 2024 13:45 WIB

Kisah Proklamasi Indonesia 1942 di Gorontalo (Bagian II - Habis)

Pembacaan teks Proklamasi Indonesia ini tiga tahun lebih awal daripada 17/8/1945.

Nani Wartabone. Pada 23 Januari 1942, dengan didampingi RM Koesno Danoepojo ia membacakan teks Proklamasi RI.
Foto: dok wiki
Nani Wartabone. Pada 23 Januari 1942, dengan didampingi RM Koesno Danoepojo ia membacakan teks Proklamasi RI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nani Wartabone adalah tokoh kunci di balik Proklamasi Indonesia 1942 di Gorontalo. Ia berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya, Zakaria Wartabone, adalah aparat Afdeling setempat.

Sejak kecil, Nani Wartabone memperoleh pendidikan formal di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial untuk pegawai lokal. Namun, tidak sekalipun anak muda ini bersimpati pada penjajah.

Baca Juga

Telinganya selalu panas ketika mendengar para guru yang berkebangsaan Belanda mengagung-agungkan bangsa Barat sembari merendahkan bangsa Indonesia.

Untuk melanjutkan sekolah, Nani Wartabone muda hijrah ke Surabaya (Jawa Timur). Di sini, ia bertemu dengan banyak pemuda dan tokoh nasionalis. Sosok Sukarno, yang masyhur akan kepiawaian berorasi, amat menginspirasinya.

Pada 1928, Nani kembali ke Gorontalo. Ia membentuk perkumpulan tani (hulanga). Bukan hanya untuk mendukung perkembangan pertanian, organisasi itu juga dijadikannya sarana menyebarkan nasionalisme kepada masyarakat, khususnya kaum muda.

Akibat ditekan Belanda, Partindo bubar pada 1936. Cabangnya di Gorontalo pun ikut gulung tikar.

Sebagai inisiatornya, Nani tidak putus asa. Pascabubarnya Partindo, ia melanjutkan derap perjuangannya melalui Muhammadiyah.

Pada 1942, balatentara Jepang datang. Belanda yang ratusan tahun menjajah Nusantara ternyata keok, tidak mampu menghadapi serangan dari luar. Jadilah Nippon sebagai penguasa baru di Tanah Air.

Banyak orang Indonesia antusias dengan kemampuan Jepang mengusir Belanda. Termasuk di Gorontalo.

Namun, aparat kolonial Belanda di Gorontalo begitu licik untuk pergi begitu saja. Mereka membumihanguskan banyak fasilitas umum setempat agar tidak jatuh ke tangan Jepang.

Tindakan itu menyulut emosi warga. Hamzah Harun al-Rasyid dan Saprillah dalam artikel “The Nationality Movement in Gorontalo” menuturkan, momen itulah yang memicu perlawanan kaum muda setempat pada 12-23 Januari 1942.

Dengan dipimpin Nani Wartabone, ratusan orang muda bergerak sejak subuh hari dari Suwawa ke pusat kota Gorontalo. Bahkan, sebagian besar aparat keamanan membelot sehingga mengikuti massa anti-Belanda itu.

Peristiwa ini pecah pada pukul 09.00 WITA, pagi hari Jumat, tanggal 23 Januari 1942. Ketika itu, seluruh kantor pemerintahan Afdeling Gorontalo dapat dikuasai laskar-laskar anti-Belanda.

Nani bersama dengan para pejuang bergerak menuju lapangan depan rumah asisten residen. Di sana, mereka menurunkan bendera Belanda, dan menggantinya dengan bendera Merah Putih.

Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” lantas dinyanyikan. Teks proklamasi kemerdekaan RI—bukan “kemerdekaan Gorontalo”—dibacakan Nani melalui pengeras suara. Sesudah itu, rakyat dan para pemimpin lokal larut dalam euforia serta keharuan.

Dipadamkan Jepang ...

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement