REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rendahnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023 yang sebesar 1,61 persen menjadi bekal payung ekonomi untuk tahun 2024.
“Istilah APBN 2023 telah menyediakan payung sebelum hujan itu tepat sekali,” kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Selasa (20/8/2024) lalu.
Pasalnya, terdapat banyak gejolak ekonomi yang terjadi di 2024, seperti kenaikan suku bunga The Fed di kisaran 5,25-5,5 persen. Pada saat yang sama, berbagai harga komoditas mengalami penurunan, termasuk batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).
Untuk itu, defisit APBN sebesar Rp 337,3 triliun atau 1,61 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) memberikan ruang yang memadai untuk membuat APBN menjadi bantalan gejolak (shock absorber) pada tahun anggaran berikutnya.
“Waktu hujan, terjadi drop harga komoditas, ini menyebabkan guncangan. Namun, kita telah menyediakan payung di 2023,” tambah dia.
Realisasi defisit itu lebih rendah dari target APBN 2023 yang sebesar 2,27 persen. Secara rinci, realisasi pendapatan negara tercatat sebesar Rp 2.774,3 triliun, tumbuh 5,3 persen dari realisasi tahun anggaran 2022 yang sebesar Rp 2.635,8 triliun. Realisasi itu setara dengan 105,2 persen dari target Perpres Nomor 75 Tahun 2023 yang sebesar Rp 2.637,2 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 3.121,2 triliun atau 100,13 persen dari pagu 2023. Realisasi ini meningkat Rp 24,9 triliun atau 0,81 persen dari realisasi 2022. “Ini menunjukkan pada saat kita menghadapi penerimaan yang tinggi, kita tetap menjaga momentum belanja tanpa menimbulkan kenaikan yang cukup besar,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-2 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, Sri Mulyani menyatakan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2023 mencatatkan beberapa prestasi yang cukup menonjol.
Pertama, keseimbangan primer mencatat positif pertama kali sejak tahun 2012. Selanjutnya, adanya surplus laporan operasional yang baru pertama kali tercapai sejak penerapan basis accrual accounting pada 2015.
Selain itu, ia menyampaikan bahwa pemerintah berhasil mencapai kenaikan ekuitas negara tanpa melalui revaluasi. Kinerja positif tersebut juga yang pertama kali terjadi sejak 2015.
Defisit fiskal dan rasio utang pun tercatat turun masing-masing menjadi 1,61 persen dan 39,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa tingkat pengangguran terbuka menurun dari 5,86 persen pada 2022 menjadi 5,32 persen pada 2023.
Sementara itu, angka kemiskinan menurun dari 9,54 persen menjadi 9,36 persen dan indeks pembangunan manusia naik dari 73,77 menjadi 74,39. “Pada tahun 2023, pengelolaan transaksi APBN juga mengalami perbaikan. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) mencapai nilai terendah yaitu hanya Rp 19 triliun. Sejak tahun 2008 ini adalah SILPA terendah,” tuturnya.