Rabu 21 Aug 2024 13:51 WIB

DPR Dinilai Tengah Melakukan Akrobat Politik untuk Menganulir Putusan MK

Hari ini Badan Legislasi DPR menggelar rapat pembahasan revisi UU Pilkada.

Suasana Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Suasana Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rabu (21/8/2024) menggelar rapat Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (RUU Pilkada) sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terhadap uji materi pasal-pasal UU Pilkada terkait syarat pencalonan kepala daerah. Langkah DPR ini menuai kritik dari kalangan ahli politik dengan menilai DPR tengah melakukan akrobat politik dengan tujuan menganulir putusan MK.

"Putusan MK sangat jelas: “partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu..” Tapi lucunya DPR akrobat sedemikian rupa untuk menganulir Putusan MK. Logikanya sederhana: masak partai yg tidak punya kursi bisa mencalonkan, sementara partai-partai yg punya kursi harus mencapai minimal 20 persen-30 persen untuk bisa mencalonkan di pilkada. Saya nggak paham lagi deh," ujar ahli Prof. Burhanuddin Muhtadi lewat akun @BurhanMuhtadi yang sudah diverifikasi oleh X, Rabu.

Baca Juga

Burhanuddin pun mengingatkan warganet untuk tidak teralihkan isunya kecuali fokus untuk mengawal putusan MK. Menurutnya, DPR saat ini tengah berupaya menyiasati putusan MK dengan cara tidak memberlakukan ambang batas hanya pada partai yangg tidak punya kursi di DPRD, sementara partai yang punya kursi tetap diberlakukan aturan threshold 20-25 persen utk bisa mencalonkan di pilkada.

Pegiat pemilu, Titi Anggraini juga mengritisi langkah Baleg DPR yang 'mendadak' membahas revisi UU Pilkada. Padahal, menurutnya, sudah sangat jelas, bahwa Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 mengatakan bahwa syarat threshold (ambang batas) pencalonan yang direkonstruksi itu berlaku baik untuk partai parlemen maupun nonparlemen.

"Kenapa wakil rakyat tidak bersuara seperti suara rakyat dan corong Konstitusi? Apakah rakyat sudah dianggap angin lalu oleh mereka?" kata Titi.

Titi mengingatkan DPR bahwa, putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes. Menurut Titi, jika sampai putusan MK disimpangi maka telah terjadi pembangkangan konstitusi dan bila terus berlanjut, Pilkada 2024 menjadi inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan.

"MK adalah penafsir konstitusi satu-satunya yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam sistem hukum Indonesia. Pemerintah, DPR, dan semua elemen bangsa harus menghormati dan tunduk pada Putusan MK."

 

 

 

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement