Rabu 28 Aug 2024 06:05 WIB

Stagnansi Produksi Hingga Penurunan Ekspor, Tantangan Industri Sawit Saat Ini

Sampai dengan Mei 2024 kontribusi sawit terhadap devisa negara mencapai 9,78 dolar AS

Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, yang digelar Kementerian Keuangan di Belitung Timur, Selasa (27/8/2024) malam.
Foto: Dok istimewa
Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, yang digelar Kementerian Keuangan di Belitung Timur, Selasa (27/8/2024) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, BELITUNG TIMUR -- Industri kelapa sawit Indonesia terus menunjukkan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara. Namun, di balik kinerja positif tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi, salah satunya stagnansi produksi.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, saat ini kontribusi kelapa sawit terhadap pendapatan negara terus menunjukkan peningkatan. Ia menjelaskan di 2020 devisa dari industri sawit menyumbang sekitar 22,7 miliar dolar ke negara, kemudian di 2021  pada saat Covid-19 pendapatan dari sawit naik menjadi 34,9 dolar AS.

Baca Juga

“Bahkan di tahun 2022 devisa sawit memecahkan rekor dengan menyumbang 37,7 miliar dolar AS. Kemudian sempat turun di tahun 2023 menjadi 29,54 akibat harga sawit di dunia juga sedang turun, dan sampai dengan Mei 2024 kontribusi sawit terhadap devisa negara mencapai 9,78 dolar AS atau 10,01 persen dari ekspor non migas indonesia,” ujar Eddy saat berbicara dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, yang digelar Kementerian Keuangan di Belitung Timur, Selasa (27/8/2024) malam.

Di tengah kontribusi sawit yang terus meningkat pada APBN, Eddy mengatakan industri ini sedang menghadapi sejumlah tantangan. Menurutnya jika dilihat dalam 5 tahun terakhir produksi sawit Indonesia sedang mengalami stagnansi.

“Produktivitas (sawit) tidak menggembirakan, karena seharusnya kita sudah melakukan re-planting (peremajaan sawit) utamanya untuk Sawit Rakyat. Di sini kita agak terlambat sehingga produksi kita stagnan,” ujar Eddy.

Selain itu terjadi juga penurunan ekspor. Kontribusi ekspor produk sawit terhadap ekspor nonmigas sekitar 12 persen dan naik ketika Covid-19 pada 2020-2021, padahal saat itu ekspor lain sedang melemah. Namun sampai Mei 2024 kontribusi ekspor sawit terhadap non migas hanya 8,3 persen. Padahal menurut Eddy, Indonesia sudah melakukan ekspor sawit dalam bentuk olahan.

Ekspor terbesar Indonesia selama ini ke China dengan jumlah 7,7 juta ton, kemudian India 5,5 juta ton. Uni Eropa 4,2 juta ton, dan Pakistan 2,5 juta ton. Namun yang perlu menjadi perhatikan adalah adanya penurunan ekspor di 2024 dibandingkan 2023.

Salah satu penyebabnya adalah berkurangnya permintaan dari negara pengekspor. Belakangan di China misalnya minyak bunga matahari dengan produktivitas jauh lebih rendah dari sawit, tapi lebih murah, lebih diminati.

“Kalau seperti ini terus akan berat. Target ekspor 50 juta ton saja akan berat,” kata Eddy.

Peluang penerimaan devisa dari produk sawit masih terbuka, menurut Eddy tidak saja pada negara tujuan ekspor tradisional, seperti China, India, Eropa, Pakistan, Amerika Serikat dan lainnya, tetapi juga negara non tradional seperti Timur Tengah dan Afrika terus berkembang. Pada 2023, ekspor minyak sawit Indonesia menyumpang 34 persen ekspor minyak nabati dunia atau 54 persen ekspor minyak sawit dunia.

Masih terbuka peluang peningkatan nilai tambah dari produk sawit melaui hilirisasi industri sawit, untuk berbagai aneka produk hilir sawit, termasuk biodiesel. Maka dari itu Eddy mengatakan perlu kebijakan pemerintah untuk memainkan instrumen fiskal. "Pada waktu harga tak kompetitif bisa kita turunkan sementara kemudian setelah kompetitif kembali bisa dinaikan kembali, misalnya,” saran Eddy.

Eddy juga menyampaikan beberapa saran antara lain perlu adanya Badan/Institusi Pemerintah yang mengelola Industri Sawit dari hulu sampai hilir yang terintegrasi, termasuk perizinannya. Sinkronisasi semua peraturan perundangan terkait industri sawit untuk mencapai simplifikasi, integrasi, harmonisasi, dan sinergitas dalam regulasi dan kebijakan terkait. Bila memungkinkan adanya UU yang secara khusus mengatur industri sawit.

"Khusus untuk perizinan PKS baru, agar tetap mempersyaratkan terintegrasi dengan kebun, sehingga tidak merusak tatanan kemitraan yang telah terbangun selama ini," ujarnya.

Menanggapi hal ini Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana, Plt Direktur Kemitraan BPDPKS, Kabul Wijayanto mengatakan ada beberapa Pekerjaan Rumah (PR), dalam pengelolaan industri sawit. Kabul membenarkan adanya penurunan produktivitas sawit.

"Di 2019 secara nasional perkebunan sawit kita menghasilkan 3,86 juta ton. Di 2023 turun jadi 2,86 juta ton. Bahkan khusus petani swadaya lebih turun lagi jadi 2,5 juta ton. Ini PR pertama, terkait produktivitas," katanya. 

Kabul juga menyoroti adanya tumpang tindih lahan yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi ini. "Hingga saat ini tumpang tindih lahan harus segera di selesaikan," ujarnya.

Kemudian stabilisasi harga CPO. Tahun ini 2024 kurang lebih bisa diserap 13,4 juta KL untuk program mandatory biodiesel. Tentunya jika terjadi peningkatan akan dibutuhkan semakin banyak produktivitas sawit.

Sawit diharapkan mendukung proyek energi terbarukan. Target presiden tahun 2025, kata Kabul, kontribusi bauran untuk energi dari sawit 23 persen.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement