REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Darda' adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Penghafal Alquran (hafiz) ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam syiar ilmu-ilmu agama Islam pada masanya.
Dalam era khalifah Utsman bin Affan, dirinya berperan mengumpulkan mushaf-mushaf maupun hafalan-hafalan Alquran. Tatkala bermukim di Damaskus (Syam), Abu Darda' menjadi sumber bagi penduduk lokal yang ingin belajar membaca Kitabullah dengan baik.
Selama hidupnya, lelaki dari Madinah ini mengajarkan kepada umat Islam segala hal yang ia pelajari dahulu dari Rasulullah SAW.
Seperti dinukil dari buku Kisah-Kisah Ajaib Para Penghafal Alquran, seorang sahabat bernama Suwaid bin Abdul Azis pernah menceritakan sebagai berikut. Pada suatu hari, Abu Darda' sedang shalat di masjid Damaskus. Sesudah itu, ribuan orang mengelilinginya. Mereka semua ingin belajar membaca Alquran dari sang sahabat Nabi.
Kemudian, Abu Darda' menjadikan mereka berkelompok. Satu grup terdiri atas 10 orang dan dipilih satu orang ketua. Ia hanya mengawasi ribuan orang itu dari mihrab.
Jika ada di antara mereka yang dirasa keliru dalam mengaji, ketua grup tempatnya berada lekas menghadap Abu Darda' untuk bertanya. Demikianlah majelis ilmu itu berlangsung di Damaskus.
Jumlah penghafal Alquran dalam majelis Abu Darda' bisa mencapai 1.600 orang. Adapun yang belum hafiz 30 juz, maka terus dilatih untuk bukan sekadar menghafal, tetapi juga benar dalam membaca Alquran.
Abu Darda' mendedikasikan dirinya pada Alquran secara total. Baginya, tiada hari tanpa mengajarkan Kitabullah.
Ia menghafalnya di kala sendiri atau bersama-sama dalam majelis. Selain memiliki kemampuan hafalan yang kuat, bacaan Alqurannya juga sangat fasih.
Dahulu, Rasulullah SAW memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi padanya. Sebab, sang sahabat telah mampu menjaga dan mengamalkan Alquran.
Selain seorang hafiz yang fasih, Abu Darda' juga seorang mujahid yang tangguh dan ahli hikmah yang bijaksana. Dalam banyak jihad fii sabilillah, ia selalu berada di garis depan bersama Rasulullah SAW saat berperang melawan musuh. Dirinya adalah prajurit yang pantang menyerah dan pemberani. Perang terakhir yang ia ikuti adalah untuk pembebasan Kota Makkah (Fath Makkah).
Sebagai ahli hikmah, Abu Darda' adalah sosok yang selalu rindu pada hakikat hidup dan terus berusaha untuk bisa menemukan maknanya. Pasca-Fath Makkah, ia memutuskan untuk menyerahkan diri secara bulat kepada Allah SWT. Ia memilih jalan tasawuf hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh. Ia terus berdzikir dan menyempurnakan hafalannya. Ia juga terus berbuat kebajikan untuk masyarakatnya.
Pernah suatu hari, ibunya bertanya tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda'. Ia pun menjawab, "Tafakkur dan mengambil iktibar (pelajaran)". Inilah yang menjadi bukti keseriusan Abu Darda' untuk menjadi seorang ahli hikmah. Ia ingin di akhir hidupnya terus berada dalam lingkaran ketenangan dan kedamaian batin. Ia sudah meninggalkan dunia peperangan dan memutuskan untuk melakukan ubudiyah dan tafakkur yang dalam.