REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan perlunya akhlak yang baik dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ketika bertransaksi. Perdagangan yang dilakukan seorang Muslim hendaknya tidak sekadar mengejar keuntungan materiel, tetapi juga selalu dalam koridor syariat, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri adalah seorang pedagang yang terkenal jujur (al-Amin) sebelum beliau diangkat menjadi utusan Allah.
Memperdagangkan barang bekas yang masih bisa difungsikan tentunya sah-sah saja. Namun, bagaimana hukumnya bila barang tersebut hendak dijual dengan kondisi apa adanya?
Dalam hal ini, Islam menyebutnya sebagai jual-beli lepas tangan. Ini bisa diartikan bahwa penjual mensyaratkan pembeli untuk menanggung setiap cacat barang yang ia jual secara umum.
Terkait hal ini, para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi jual-beli lepas tangan. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, terdapat sejumlah pandangan dalam menghukumi hal ini.
Imam Abu Hanifah, misalnya, berpendapat bahwa jual-beli dengan berlepas tangan dari setiap cacat itu dibolehkan. Tidak menjadi soal, apakah cacat itu diketahui, disebutkan, atau dilihat oleh si penjual atau tidak.
Adapun menurut Imam Syafii, si penjual tidak boleh berlepas tangan. Hal itu dengan perkecualian bahwa cacat yang ada pada barang sudah diperlihatkannya kepada si pembeli. Atau, ihwal cacat itu dikatakan secara terang-terangan kepada konsumen sehingga ia mengerti kondisi riil barang yang akan diperolehnya.
Adapun Imam Malik berpendapat, si penjual boleh berlepas tangan dari cacat yang telah diketahuinya. Namun, hal ini khusus pada barang yang dijual berupa budak saja. Tetap ada perkecualiannya, yakni berlepas tanggungan dari kandungan pada budak perempuan yang masih muda.
Menurut Imam Malik, hal itu dilarang lantaran dapat berpotensi menimbulkan penipuan. Meski demikian, ia membolehkannya pada budak perempuan biasa. Salah satu versi pendapatnya yang lain menyatakan: boleh pada binatang.
Alasan ulama-ulama yang membolehkan jual-beli lepas tangan secara mutlak ialah tuntutan ganti rugi atas cacat terhadap si penjual merupakan salah satu hak pembeli. Oleh karena itu, apabila dia menggugurkan haknya, maka gugurlah hak-hak itu, sebagaimana hak yang lain.