REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya menegaskan, Kemenkes baik berfokus pada langkah pencegahan dan perbaikan. Baik itu dari sisi sistem pendidikan di Fakultas Kesehatan maupun sistem kerja di RS vertikal.
Pernyataan Azhar tersebut terkait proses investigasi kasus bunuh diri dr Aulia Risma, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, akibat perundungan. "Untuk kasus anastesi ini biarlah polisi yang memutuskan. Tapi kami hargai sikap FK Undip sebagai upaya untuk memperbaiki sistem," kata dia dalam keterangan tertulis pada Sabtu (14/9/2024).
Namun demikian, katanya, langkah-langkah nyata di lapangan tersebut harus implementatif, bukan sekadar teori. Dia mencontohkan, senior di prodi lain yang ada di laporan mereka untuk diselidiki dan diberi hukuman pembinaan tambah masa studi, tidak boleh stase di RS.
"Dibuat langkah perbaikan yang nyata seperti penghapusan iuran yang tidak perlu, pengaturan jam kerja yang jelas, pengontrolan ketat dari grup WA, dan lain-lain," kata dia.
Terkait pencabutan dan izin praktik kembali, katanya, hal tersebut dapat dilakukan segera jika Kemenkes melihat ada langkah nyata dari FK Undip terkait permintaan-permintaan tersebut. "Semoga ini bisa membuat yang lain jera dan tidak terulang lagi," katanya.
Dalam pernyataan terpisah, Plt Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes menyatakan bahwa pihaknya akan selalu berkoordinasi dengan polisi guna melakukan investigasi. "Koordinasi juga kita lakukan bersama kepolisian untuk melihat bukti bukti perundungan," ujarnya.
Sejauh ini, kata Nadia, sejumlah bukti yang ditemukan adalah pengeluaran lain di luar biaya resmi pendidikan, seperti pembelian makan, biaya laundry, dan biaya cuci sepatu. Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Kesehatan menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum senior kepada mahasiswi PPDS Anestesi Undip Dokter Aulia Risma Lestari.
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan bahwa permintaan uang ini berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per bulan. Berkaitan dengan dugaan perundungan, Dekan Fakultas Kedokteran Undip Semarang Yan Wisnu Prajoko akhirnya mengakui adanya praktik perundungan di sistem PPDS di internal Undip dalam berbagai bentuk. Atas hal tersebut, Dekan Fakultas Kedokteran Undip Semarang menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.