Sabtu 28 Sep 2024 16:02 WIB

Berkaca dari Kasus Bernadya, Mengapa Orang ‘Mudah’ Melecehkan di Medsos?

Sekitar 50 persen perempuan melaporkan mengalami lebih banyak pelecehan online.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Penyanyi Bernadya Ribka.
Foto: Dok. Instagram/@bernadyaribka
Penyanyi Bernadya Ribka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Musisi muda Bernadya baru-baru ini menjadi korban pelecehan di media sosial. Hal ini bermula ketika pelantun lagu “Satu Bulan” tersebut mengunggah video pulang kampung ke Surabaya di akun TikToknya. Padahal konten tersebut sebatas konten biasa, namun justru mendapat komentar yang mengarah pada pelecehan.

Apa yang menimpa Bernadya menjadi bukti nyata bahwa perempuan kerap menjadi target pelecehan daring, meskipun dia berpakaian santun. Merujuk laporan dari Plan International yang dikutip oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP), 50 persen perempuan melaporkan bahwa mereka mengalami lebih banyak pelecehan secara online dibandingkan di jalanan.

Baca Juga

Seorang pakar hukum di Karanjawala & Co, Niharika Karanjawala-Misra, mengungkapkan bahwa objektifikasi seksual pada perempuan yang sudah lama tertanam di masyarakat memiliki andil besar pada kerentanan ini. Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat perempuan sangat rentan mengalami pelecehan di media sosial. Berikut penjelasannya seperti dilansir Her Zindagi, Sabtu (28/9/2024).

1. Bias gender

Salah satu alasan utama mengapa perempuan lebih sering menjadi target pelecehan adalah karena bias gender. Bias gender sering menyebabkan perempuan dilihat sebagai objek seksual daripada individu seutuhnya.

Objektifikasi seksual ini meningkatkan risiko pelecehan baik di ruang publik maupun daring, karena tubuh perempuan dianggap sebagai konsumsi publik yang bisa dikomentari atau dieksploitasi. Pelecehan yang dialami Bernadya menyoroti bagaimana bias gender berperan dalam kekerasan berbasis gender online.

2. Peran anonimitas

Salah satu faktor yang paling signifikan terhadap meningkatnya pelecehan online terhadap perempuan adalah anonimitas. Niharika menjelaskan bahwa anonimitas membuat orang lebih berani untuk melakukan tindakan yang mungkin tidak akan mereka lakukan dalam interaksi tatap muka.

Pelaku pelecehan daring merasa terlindungi dari konsekuensi tindakan mereka. Selain itu, dengan anonimitas ini, pelaku juga dengan mudah menyerang perempuan tanpa harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.

3. Meluasnya konektivitas digital

Tidak seperti bentuk pelecehan lain yang mungkin terbatas pada lokasi atau konteks tertentu, pelecehan siber ini dapat menyusup ke setiap aspek kehidupan perempuan. Media sosial yang tersebar luas memungkinkan pelecehan terjadi kapan saja, bahkan di ruang privasi.

Aplikasi media sosial dan ponsel pintar yang selalu terkoneksi membuat pesan-pesan dan komentar yang melecehkan selalu berada dalam jangkauan perempuan. Menurut laporan UN Women, 58 persen anak perempuan dan perempuan muda telah mengalami beberapa bentuk pelecehan daring.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement