REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tiji Tibeh adalah sebuah filosofi Jawa yang berarti "mati siji, mati kabeh" (mati satu, mati semua) atau "mukti siji, mukti kabeh" (berjaya satu, berjaya semua). Konsep ini dipopulerkan oleh Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, dan dalam konteks peperangan, dapat berarti perjuangan tanpa henti, baik untuk menang ataupun menghadapi kekalahan bersama-sama. Menariknya, filosofi ini dapat dijadikan refleksi terhadap konflik Israel-Palestina yang terus berkecamuk.
Ada dua interpretasi utama dari Tiji Tibeh. Yang pertama, “mati siji, mati kabeh,” sering diterapkan oleh mereka yang bertindak dengan emosional dan cenderung egois. Mereka berjuang habis-habisan untuk mencapai tujuan, meski harus mengorbankan orang lain di sekitar mereka. Ketika gagal, mereka ingin agar semua orang merasakan kegagalan yang sama.
Sebaliknya, makna kedua adalah “mukti siji, mukti kabeh,” yang mencerminkan sikap lebih bijaksana. Orang yang memegang prinsip ini tetap berharap pada masa depan meskipun tidak meraih kemenangan penuh. Mereka tidak akan mengorbankan orang lain dan masih bisa bekerja sama dengan pihak pemenang untuk mewujudkan tujuan bersama.
Hubungan dengan konflik Israel-Palestina
Dalam konteks kawasan Timur Tengah, prinsip Tiji Tibeh bisa dilihat dari sikap yang diambil oleh para pemimpin di Palestina dan Israel serta para pemimpin yang mendukung kedua otoritas tersebut. Terlebih lagi, konflik yang awalnya hanya berkutat pada dua negara ini, kini meluas ke wilayah seperti Lebanon, Suriah, Yaman, Irak, dan Iran. Serangan Israel yang bertubi-tubi di Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon memicu kemarahan di kawasan ini, membuat pihak-pihak lain ikut terlibat.
Israel dengan kekuatan kubu Barat antara lain Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman dan Palestina dengan dukungan milisi yang dikatakan sebagai proksi Iran seperti Hizbullah Lebanon, Houthi Yaman, dan beberapa gerakan perlawanan di Irak dan Suriah.
Meski sudah setahun sejak konflik bersenjata dimulai pada 7 Oktober 2023, upaya perdamaian yang nyata belum terlihat jelas walaupun para pihak yang bertikai mendapati negaranya sudah babak belur. Di Palestina, dampak dari serangan Israel sangat menghancurkan. Di Gaza, korban jiwa hampir mencapai 41.900 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, sementara lebih dari 97.000 lainnya terluka. Di Tepi Barat, 740 warga tewas, sedangkan di Lebanon 1.204 orang tewas akibat dan ratusan ribu menyelamatkan diri ke wilayah yang dianggap aman dan negara tetangga akibat serangan Israel.
Perekonomian Palestina hingga awal 2024, antara 80 persen hingga 96 persen aset pertanian Gaza telah hancur, melumpuhkan kapasitas produksi pangan di wilayah itu dan memperburuk tingkat kerawanan pangan yang sudah tinggi. Kehancuran tersebut juga menghantam sektor swasta, dengan 82 persen bisnis, penggerak utama ekonomi Gaza, rusak atau hancur.
Produk Domestik Bruto (PDB) Gaza anjlok 81 persen pada kuartal terakhir 2023, yang menyebabkan kontraksi 22 persen untuk tahun tersebut secara keseluruhan. Hingga pertengahan 2024, ekonomi Gaza telah menyusut menjadi kurang dari seperenam dari level 2022. Kondisi pasar tenaga kerja di Tepi Barat telah memburuk secara signifikan, dengan total 306.000 pekerjaan telah hilang, mendorong tingkat pengangguran di Tepi Barat dari 12,9 persen sebelum konflik menjadi 32 persen.
Stabilitas fiskal pemerintah Palestina berada di bawah tekanan yang sangat besar sehingga mengancam kemampuannya untuk berfungsi secara efektif dan menyediakan layanan-layanan esensial. Kapasitas fiskal pemerintah telah terkikis oleh pertumbuhan PDB yang lambat, pemotongan pendapatan oleh Israel, dan penurunan tajam dalam hal bantuan internasional
Di pihak Israel, konflik internal muncul terutama dari keluarga sandera yang diambil oleh Hamas dalam serangan lintas batas. Mereka menuntut agar pemerintah, terutama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, segera mencari solusi pertukaran tawanan perang. Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa hanya 14 persen warga Israel yang mempertimbangkan untuk tinggal di dekat perbatasan Gaza setelah perang ini berakhir. Hanya 27 persen yang merasa Israel telah "menang" dalam perang melawan Hamas, sementara 35 persen merasa negara mereka kalah.
Selain itu ekonomi Israel menunjukkan kontraksi mendalam. Ekonomi Israel hanya tumbuh sebesar 0,7 persen pada kuartal kedua tahun 2024, jauh di bawah prediksi analis Bursa Efek Tel Aviv yang sebesar 3 persen. Pada bulan Agustus, rasio defisit anggaran terhadap PDB berada pada minus 8,3 persen, meningkat dari minus 7,6 persen pada bulan Juni, minus 6,2 persen pada bulan Maret, dan minus 4,1 persen pada Desember tahun lalu. Pada bulan Agustus 2024 saja, defisit anggaran mencapai 12,1 miliar shekel (3,22 miliar AS atau sekitar Rp50,2 triliun).
Investasi asing telah mengering. Sebanyak 46 ribu bisnis bangkrut. Lebih dari 85 ribu orang keluar dari dunia kerja. Seperempat juta orang yang mengungsi secara internal dan kehilangan pekerjaan serta rumah mereka. Sejumlah besar orang-orang keluar Israel hanya dengan tiket berangkat, mereka enggan kembali ke Israel karena tidak percaya ada masa depan.
Upaya diplomatik dan mediasi.. baca di halaman selanjutnya.