Rabu 09 Oct 2024 10:23 WIB

NYT: Israel tak Mampu Hancurkan Fasilitas Nuklir Iran

Iran disebut telah berhasil memperkaya dan memurnikan uranium mendekati kualitas bom.

Seorang pria Iran berjalan di dekat papan iklan besar anti-Israel yang memuat gambar rudal Iran di Teheran.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Seorang pria Iran berjalan di dekat papan iklan besar anti-Israel yang memuat gambar rudal Iran di Teheran.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Selama 22 tahun, pasukan Israel telah merencanakan penyerangan dan penghancuran fasilitas nuklir Iran. Namun, menurut analisis the New York Times (NYT) pada Rabu (9/10/2024), Israel nampaknya tak berani melakukan serangan itu sebagai pembalasan serangan Iran pekan lalu, dan mereka tak akan berhasil tanpa bantuan Amerika.

Selama 22 tahun, pusat perhatian Israel dan Washington di Iran adalah pabrik pengayaan nuklir Natanz, yang terletak sekitar tiga lantai di bawah gurun pasir. Israel telah mengembangkan rencana untuk menghancurkan atau melumpuhkan ruang sentrifugal raksasa, tempat ribuan mesin tinggi berwarna perak berputar dengan kecepatan supersonik hingga uranium mendekati bahan setingkat bom. 

Baca Juga

Meskipun Teheran secara resmi menyangkal bahwa mereka berusaha memiliki bom, dalam beberapa bulan terakhir beberapa pejabat dan komentator Iran berdebat sengit apakah fatwa yang dikeluarkan pada 2003 oleh Ayatollah Ali Khamenei, yang melarang kepemilikan senjata nuklir, bisa dibatalkan.

Sementara itu, Iran telah meningkatkan produksi uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60 persen, hanya sedikit lebih rendah dari kualitas yang diperlukan untuk membuat bom. Para ahli percaya bahwa Iran sekarang memiliki cukup bahan bakar untuk tiga atau empat bom, dan untuk mencapai kualitas bom sebesar 90 persen, hanya membutuhkan waktu beberapa hari.

Meskipun Natanz merupakan sasaran yang cukup mudah, namun menurut NYT menyerangnya merupakan tindakan perang. Jadi selama 15 tahun terakhir, Amerika Serikat telah mendesak diplomasi, sabotase dan sanksi, bukan bom, untuk mengacaukan program tersebut. Dan mereka secara aktif menghalangi Israel mendapatkan senjata yang diperlukan untuk menghancurkan fasilitas sentrifugal lainnya, yang disebut Fordow, yang dibangun jauh di dalam gunung.

Pada masa lalu, presiden AS terdahulu George W Bush mengesampingkan tuntutan Israel untuk memberikan bom penghancur bunker terbesar milik Amerika Serikat kepada angkatan udaranya, dan pesawat pengebom B-2 yang diperlukan untuk menjatuhkannya. Senjata-senjata itu akan sangat penting dalam upaya apa pun untuk menghancurkan Fordow dan fasilitas-fasilitas lain yang sangat diperkuat.

Keputusan Bush memicu perdebatan di dalam Gedung Putih. Wakil Presiden Dick Cheney menerima gagasan untuk melakukan serangan, namun Bush tetap teguh, dengan alasan bahwa Amerika Serikat tidak dapat mengambil risiko terjadinya perang lagi di Timur Tengah. 

Ehud Barak, yang menjabat sebagai perwira tertinggi di Israel dan juga perdana menteri, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan The Times pada 2019 bahwa peringatan Bush “tidak terlalu membuat perbedaan bagi kami.” Hingga akhir tahun 2008, katanya, Israel tidak memiliki rencana yang layak untuk menyerang Iran.

photo
Pembangkit pengayaan nuklir Natanz di Iran. - (Planet Labs)

Perdebatan mengenai penghancuran bunker turut melahirkan operasi rahasia besar-besaran yang dikenal sebagai “Olimpiade,” sebuah program rahasia Israel-Amerika untuk menghancurkan mesin sentrifugal dengan menggunakan senjata siber. Lebih dari 1.000 mesin sentrifugal dihancurkan oleh apa yang dikenal sebagai virus Stuxnet, sehingga program tersebut mundur satu tahun atau lebih.

Namun Olimpiade bukanlah sebuah solusi jitu: Iran membangun kembali, menambahkan ribuan sentrifugal lagi. Mereka lebih banyak memindahkan upaya mereka jauh di bawah tanah. Dan fakta bahwa kode komputer berbahaya lolos, dan terungkap ke dunia, mendorong negara-negara lain untuk fokus mengembangkan serangan infrastruktur mereka sendiri, termasuk jaringan listrik dan sistem air.

Israel sejauh ini telah membunuh ilmuwan dan menyerang fasilitas pengayaan di atas tanah, menyerang pusat manufaktur sentrifugal dengan drone, dan menginvestasikan sumber daya dalam jumlah besar untuk mempersiapkan kemungkinan serangan terhadap fasilitas tersebut.

Upaya Israel terhenti setelah pemerintahan Barack Obama mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran yang menyebabkan negara tersebut mengirimkan sebagian besar bahan bakar nuklirnya ke luar negeri. Dan kemudian, ketika Trump menarik diri dari perjanjian tersebut, dia dan Netanyahu yakin bahwa Iran akan menghentikan proyek mereka sebagai tanggapan terhadap ancaman Washington. Pasukan Pertahanan Israel malah fokus pada Hizbullah, dan terowongan bawah tanah tempat mereka menyimpan rudal produksi Iran.

Kurang persiapan... baca halaman selanjutnya

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement