REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dilaporkan masih kekurangan 120 ribu dokter umum dan 29 ribu dokter spesialis, menurut pernyataan Kementerian Kesehatan. Kemenkes mengeklaim, jumlah dokter umum dan dokter spesialis yang ada saat ini belum cukup untuk melayani 270 juta penduduk Indonesia.
Merespons hal ini, Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menyatakan jumlah dokter umum saat ini telah memadai, tidak kekurangan. Menurut PDUI, yang menjadi persoalan utama saat ini adalah distribusi dokter yang tidak merata ke berbagai daerah di Indonesia.
"Yang diperlukan itu pemerataan. Kalau dari segi jumlah dokter, baik dokter umum atau spesialis itu sudah cukup memenuhi. Kalau pun ada penambahan mungkin gak harus sampai ratusan ribu, seperti yang digaungkan selama ini," kata Presidium PDUI dr Alwia Assagaf usai pembukaan Mukernas PDUI di Jakarta, Sabtu (12/10/2024).
Karena itu, alih-alih membuka fakultas Kedokteran yang baru, PDUI menilai bahwa solusi riil dari problematika ini adalah pemerataan dokter. Dokter Alwia menegaskan bahwa saat ini dokter umum terutama dokter spesialis masih berpusat di pulau Jawa.
"Tidak bisa dipungkiri sekarang dokter itu masih berpusat di Jawa, pemerataan inilah yang perlu didorong betul oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan," jelas dia.
Selain itu, perbaikan kurikulum pendidikan dokter juga dianggap penting guna mengetaskan ketimpangan ini. Perbaikan kurikulum diharapkan mampu mendorong lebih banyak dokter yang berasal dari daerah dan mengabdi di wilayah asal mereka.
"Kami seperti yang diusulkan oleh IDI melalui ketua umum PB IDI itu menyarankan untuk memperbaiki kurikulum di Fakultas Kedokteran, daripada ya terus membuka fakultas baru," kata Alwia.
Berbicara soal pemerataan, Alwia mengatakan bahwa pemerintah pusat melalui Kemenkes dan pemerintah daerah dapat mengatasi keberbatasan akses dan infrastructure di daerah terpencil, sehingga para dokter mau ditugaskan di daerah tersebut. Menurut Alwia, hingga saat ini ada banyak daerah yang bahkan sulit dijangkau karena terbatasnya transportasi, akses internet, dan lainnya. Kondisi itu pada akhirnya membuat para dokter enggan ditugaskan ke daerah terpencil.
"Kalau ditugaskan di daerah ke ibu kota provinsinya aja harus menempuh 2 hari 2 malam dengan kapal, siapa yang mau ditugaskan di sana. Apalagi kalau internetnya jelek, sehingga dia tidak bisa berkomunikasi dengan keluarganya. Tentu kesejahteraan tidak bisa dipungkiri sebagi suatu hal yang penting. Karena kami tidak ada bedanya dengan profesi yang lain," kata dr Alwia.