REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Kehidupan anak-anak di Palestina dan Lebanon “hancur dengan cara yang tak terbayangkan,” kata Direktur Eksekutif Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) Catherine Russell.
“Puluhan ribu anak tewas. Ribuan lainnya ditahan, terlantar, menjadi yatim piatu, putus sekolah, dan mengalami trauma akibat kekerasan dan perang,” katanya dalam sebuah pernyataan, Sabtu (12/10).
Ia menegaskan bahwa semua pihak berkewajiban melindungi warga sipil, termasuk anak-anak, pekerja kemanusiaan, serta infrastruktur sipil seperti sekolah dan fasilitas kesehatan.
“Para pihak harus memberikan akses tanpa hambatan terhadap bantuan yang menyelamatkan nyawa. Kewajiban ini diabaikan secara mencolok,” kata Russell menambahkan.
Dia lebih lanjut mengatakan "kematian dan penderitaan anak-anak sebagai sesuatu yang memalukan" sedangkan "pertumpahan darah dan kengerian yang dialami anak-anak setiap hari adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan". Karenanya, Russell meminta "kekerasan terhadap anak-anak, yang merupakan pihak paling rentan di antara kita, harus segera dihentikan."
Kendati ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, Israel terus melancarkan genosida di Jalur Gaza sebagai respons atas serangan lintas batas kelompok perlawanan Palestina, Hamas, pada 7 Oktober 2023.
Sejak itu, menurut otoritas kesehatan Gaza, hampir 42.200 warga di wilayah kantong Palestina itu tewas akibat serangan udara dan darat tak berkesudahan militer Israel. Sebagian besar dari mereka yang tewas akibat genosida militer Zionis itu adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, serangan militer Israel tersebut juga melukai lebih dari 98.300 warga Palestina lainnya, serta memaksa hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi. Tak sampai di situ, kampanye genosida Israel di tengah blokade yang masih berlangsung itu, Gaza mengalami kekurangan parah akan stok pangan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel kini menghadapi gugatan kasus genosida di Pengadilan Internasional atas tindakannya di Gaza.