REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar umat Islam saling berkasih sayang, berempati, dan peduli satu sama lain. Maknanya, rasa persaudaraan (ukhuwah) mesti terus dikuatkan. Di antara beragam sarana untuk merawat ukhuwah adalah saling memberi hadiah.
Hadiah selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta, dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Rasulullah SAW menganjurkan agar suka memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang sesama manusia. "Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai" (HR al-Bukhari).
Saling memberi hadiah ini, tidak hanya ditinjau dari sisi materi, tetapi lebih kepada nilai maknawinya. Hal ini dapat terlihat dari sabda Rasulullah SAW melalui hadis Abu Hurairah bahwa beliau bersabda, "Wahai para wanita kaum Muslimin, janganlah ada seorang tetangga meremehkan pemberian tetangganya yang lain sekalipun ia (pemberian tersebut) berupa ujung kuku unta" (HR Al-Bukhari). Padahal, apalah artinya kuku yang tentunya hanya menyisakan sedikit daging.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW memberi permisalan menarik yang menunjukkan perlunya sikap tawadhu (rendah hati) dalam menerima hadiah.
"Andaikata aku diundang untuk menyantap makanan (yang berupa) bagian hasta atau bagian di bawah tumit, niscaya aku penuhi undangan itu. Dan andaikata aku dihadiahi hal yang sama juga niscaya aku menerimanya" (HR al-Bukhari).
Bila kita renungkan lebih mendalam, apakah Rasulullah SAW masih membutuhkan makanan dari orang lain? Jawabannya sudah pasti, tidak. Sebab sebagaimana yang kita ketahui, beliau diberi makan dan minum oleh Allah.
Dengan demikian, anjuran dari beliau itu merupakan pelajaran praktis bagi kita semua agar selalu bersikap tawadhu dan rendah hati terhadap sesama Muslimin. Apa pun kedudukan kita di dunia.
Contoh teladan
Ikatan akidah lebih kuat dibandingkan ikatan darah. Itu terbukti pada diri kaum Anshar dan kaum Muhajirin pada masa Rasulullah SAW.
Kuatnya rasa persaudaraan (ukhuwah) membuat orang-orang Anshar berebut saudaranya yang baru datang dari Makkah untuk menginap di rumahnya. Mereka rela berbagai harta, jiwa, serta kepentingan keluarganya untuk orang-orang yang mereka bahkan belum kenal.
Situasinya makin mengharukan kala setiap orang Anshar bersikeras dengan permintaannya. Hingga pada akhirnya, rumah kediaman kaum Muhajirin ditetapkan berdasar undian. Imam Bukhari meriwayatkan, "Tak seorang pun Muhajir yang menetap di rumah seorang Anshar melainkan dengan undian."
Allah SWT menyanjung kaum Anshar dengan kepribadiannya itu. Allah berfirman, yang artinya, "Dan, orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan, mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada meraka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan mereka (orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung" (QS al-Hasyr : 9).