Ahad 20 Oct 2024 12:31 WIB

Mencari Keadilan ke Pengadilan di Indonesia, Bisakah Adil?

Semakin besar nilai korupsi semakin ringan hukumannya.

Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas.
Foto: Darmawan/Republika
Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Buya Anwar Abbas, Pengamat Sosial Ekonomi dan Keagamaan; Wakil Ketua Umum MUI

Seorang laki-laki di Banyuwangi dijebloskan ke penjara gara-gara mencuri tiga ekor ayam milik tetangganya. Oleh pengadilan pada November 2023 yang bersangkutan dijatuhi hukuman 10 bulan penjara.

Baca Juga

Di Jembrana Pengadilan Negeri Negara telah mengadili seorang oknum polisi yang bertugas di satuan Polres Jembrana, karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian dua ekor sapi milik warga di Desa Berangbang, sang polisi telah dijatuhi hukuman oleh hakim 4 bulan penjara.

Pada Juli 2024 majelis hakim juga telah mengadili kasus korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek 2 (Tol Layang MBZ). Oleh hakim dari 4 orang terdakwa, ada yang dijatuhi hukuman 3 tahun dan 4 tahun penjara.

Dari tiga kasus ini kita melihat masing-masing hakim sudah melaksanakan tugasnya dengan mengadili dan menjatuhkan hukuman terhadap masing-masing pelaku tindak pidana tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa semakin besar nilai material dari tindak pidana yang dilakukannya hukumannya tampak semakin tidak sebanding atau semakin ringan.

Dalam kasus pencurian tiga ekor ayam yang nilainya mungkin hanya sekitar Rp 150 ribu hukumannya 10 bulan penjara. Dalam pencurian dua ekor sapi yang nilainya sekitar Rp 50 juta hukumannya hanya empat bulan penjara. Dalam kasus korupsi Tol Layang MBZ kerugian negara sekitar Rp 510 miliar dengan empat pelaku atau rata-rata Rp 127,5 miliar per orang, hukumannya per orang hanya antara 3 dan 4 tahun penjara.

Dari tiga kasus ini terlihat, semakin besar nilai yang dia curi atau korup tampak semakin lebih ringan hukumannya. Apalagi kalau kita coba bandingkan dengan kasus penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare di Riau yang digarap oleh sebuah perusahaan sejak tahun 2003-2022. Dalam penyerobotan tersebut kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 104,1 triliun yang terdiri dari kerugian keuangan negara senilai Rp 4,9 triliun dan kerugian perekonomian negara sebanyak Rp 99,2 triliun. Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pemilik perusahaan tersebut tahun 2022 telah divonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan subsaidair 6 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 2,2 triliun dan pembayaran kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39 triliun.

Dari kasus-kasus di atas muncul pertanyaan apakah dunia peradilan kita sudah bisa berbuat adil terhadap para pelaku tindak pidana tersebut? Para ahli hukum tentu akan berbeda pendapat dalam melihatnya. Namun, ada kata-kata Bismar Siregar seorang hakim agung (almarhum) yang menarik untuk diperhatikan di mana beliau menyatakan saya dalam menjatuhkan hukuman selain memperhatikan hal-hal yang seharusnya diperhatikan oleh seorang hakim saya juga kata beliau mempergunakan rasa keadilan (bukan rasa kasihan) dalam menjatuhkan vonis.

Jika kata-kata Bismar Siregar ini kita jadikan sebagai tolok ukur dalam menilai dunia peradilan kita saat ini, apakah dunia peradilan kita sudah bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya? Silakan masing-masing kita untuk menilai dan menjawabnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement