Selasa 29 Oct 2024 14:40 WIB

Ini Analisis Guru Besar St.Petersburg atas Gabungnya Indonesia ke BRICS

BRICS menawarkan penyeimbang baru perdagangan, keuangan, mata uang, dan ekonomi.

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas St.Petersburg, Connie Rahakundini Bakrie. (ilustrasi)
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas St.Petersburg, Connie Rahakundini Bakrie. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Hubungan Internasional Universitas St.Petersburg, Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan, langah Indonesia untuk berpartisipasi dalam KTT BRICS di Kazan, merupakan simbol dari kepercayaan bahwa BRICS bisa jadi alternatif terhadap sistem Barat, termasuk hegemoni dolar.

“Saya kira dengan mengirimkan menteri luar negeri baru ke Kazan, Presiden Prabowo telah menunjukkan kepada beberapa pemimpin terkemuka BRICS, terutama Putin dan Xi, bahwa mereka 'percaya' terhadap BRICS untuk menyeimbangkan perekonomian dunia karena BRICS memberikan alternatif bagi perekonomian dunia. Sistem keuangan yang didominasi Barat.”, kata Connie, dalam siaran pers, Selasa (29/10/2024). 

Hal ini disampaikan Connie, menanggapi langkah Presiden Prabowo Subianto  yang resmi mendaftarkan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab (UEA). Pendaftaran itu dilakukan melalui penyampaian surat ketertarikan atau expression of interest oleh Menteri Luar Negeri Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia 24 Oktober lalu.

Selain mendaftar BRICS, Indonesia diketahui kini menjadi mitra resmi blok tersebut. Tak hanya Indonesia, ada 12 negara lain di antaranya Malaysia, Thailand, dan Vietnam serta Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Nigeria, Turki, Uganda, dan Uzbekistan.

BRICS, menurut Connie, dapat memberikan kemandirian yang jauh lebih besar dari dolar AS. Hal ini karena organisasi tersebut menyatukan perekonomian, sumber daya, dan populasi yang besar dan beragam. “Ini  tidak diragukan lagi menawarkan penyeimbang baru dalam perdagangan, keuangan, mata uang, dan kebijakan ekonomi global,” ungkapnya. 

Profesor asal Indonesia yang mengajar di Universitas tertua di Rusia itu, menambahkan, ia bertanya-tanya apakah Presiden Indonesia akan berupaya menjadikan BRICS sebagai aliansi keamanan baru jika Indonesia bergabung segera setelah pertemuan Kazan. 

“Menurut saya, BRICS jika menjadi aliansi keamanan berpotensi mengimbangi aliansi Barat seperti NATO dengan memberikan pengaruh lebih besar kepada Indonesia dalam masalah keamanan regional dan mengurangi terlalu banyak kekuatan militer Barat di kawasan Asia Tenggara,” papar Connie.

Pada KTT BRICS ke-16, Indonesia diakui sebagai salah satu dari 13 negara mitra BRICS. Negara-negara Asia Tenggara lainnya yang diakui sebagai negara mitra adalah Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Di Jakarta, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergey Tolchenov menjelaskan bahwa keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dipandang sebagai langkah signifikan menuju kemandirian global dan kebijakan luar negeri yang aktif. Ini bertujuan untuk menghindari dominasi Barat

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement