REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo berharap Zarof Ricar (ZR), mantan pejabat tinggi di Mahkamah Agung (MA) yang ditangkap Kejaksaan Agung (Kejakgung) buka suara terkait dengan penyidikan korupsi pengaturan kasus di Mahkamah Agung (MA), dan di peradilan lainnya. Yudi mengatakan, pengakuan ZR kepada penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) diharapkan bisa membasmi praktik-praktik mafia hukum di lembaga peradilan.
“Zarof Ricar (ZR), adalah kunci dari kotak pandora mafia peradilan di Indonesia. Jika dia bernyanyi (buka suara) maka akan banyak orang masuk penjara,” kata Yudi melalui pesan singkat kepada Republika, pada Kamis (31/10/2024).
Yudi, yang juga mantan ketua wadah pegawai KPK itu mengharapkan, agar tim penyidik Jampidsus-Kejakgung, mengusut tuntas tentang dari mana peroleh uang hampir Rp 1 triliun, dan kepingan-kepingan emas setotal 51 Kg, yang ditemukan saat penggeledahan di rumah ZR di Senayan-Jakarta Selatan (Jaksel) pekan lalu.
Menurut Yudi, berdasarkan pengusutan sementara yang dilakukan oleh tim di Jampidsus-Kejakgung, timbunan uang dan emas tersebut diperoleh ZR sejak 2012 sampai 2022. Dalam pengakuan ZR kepada penyidikan, juga dikatakan uang dan emas tersebut ZR peroleh dari pengurusan perkara-perkara di MA dan lingkungan peradilan lainnya.
Sebagai mantan penyidik di KPK, kata Yudi pengakuan ZR atas temuan timbunan uang, dan emas tersebut menunjukkan ZR tak berperan sendirian. Karena itu, penyidik perlu mengusut semua, termasuk dalam kasus-kasus apa saja ZR ‘bermain’, dan siapa saja yang terlibat.
“Temuan uang tunai hampir Rp 1 triliun itu, dan emas 51 Kg itu, tentu dirasa tidak masuk akal jika hanya terjadi dalam beberapa kasus dan sedikit orang saja yang telribat. Apalagi, dugaannya itu dalam waktu yang panjang 10 tahun (2012-2022),” kata Yudi.
Dan, kata Yudi, perlu ditebalkan bahwa ZR, meskipun pejabat tinggi di MA, yang merupakan kepala badan diklat hakim dan peradilan, bukanlah pihak yang mengambil keputusan atas perkara-perkara di otoritas tertinggi lembaga yudikatif tersebut. Sebab itu, Yudi menilai, ZR tentu ada kerja sama dengan hakim-hakim agung pemutus perkara.
“Sehingga disinyalir, ZR ini hanyalah makelar, atau perantara saja. Untuk itulah kejaksaan harus mampu mengungkap setuntas-tuntasnya siapa pelaku, atau pihak-pihak yang turut menikmati hasil kerja ZR ini. Karena jika ini terungkap, penting untuk kita bisa membersihkan pengadilan kita dari keterlibatan mafia-mafia peradilan,” kata Yudi.
Penyidik Jampidsus-Kejakgung menangkap ZR di Jimbaran, Bali pada Kamis (24/10/2024). Sebelum menangkap ZR, tim penyidik Jampidsus, pada Rabu (23/10/2024) terlebih dahulu menangkap empat orang.
Tiga di antaranya adalah hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur (Jatim), yakni Erintuah Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH), dan satu pengacara Lisa Rahmat (LR). Ketiga hakim tersebut ditangkap karena diduga menerima uang suap-gratifikasi dari LR, selaku pengacara dari terdalwa Gregorius Ronald Tannur yang divonis bebas dari tuntutan 12 tahun penjara terkait kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti.
Dari penangkapan LR, ED, M, dan HH, penyidik Jampidsus menemukan barang bukti uang dalam berbagai mata uang kurang lebih Rp 20,7 milar. Dalam kelanjutan penyidikan kasus tersebut, Jampidsus menemukan peran ZR yang diminta oleh LR, untuk ‘mengatur’ putusan kasasi di MA ajuan Jaksa
Penuntut Umum (JPU), atas vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya itu. Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengungkapkan, dari pemeriksaan terhadap LR, diketahui menyerahkan uang Rp 1 miliar dalam valuta asing kepada ZR. LR juga menyerahkan valuta asing sekitar Rp 5 miliar untuk diserahkan kepada hakim agung yang memutus kasasi Ronald Tannur.
Dari penggeledahan yang dilakukan di kediaman ZR di kawasan Senayan, Jakarta Selatan (Jaksel), penyidik Jampidsus menemukan timbunan uang mencapai Rp 1 triliun dari berbagai mata uang. Penyidik juga menemukan timbunan kepingan emas sebanyak 446 keping dengan berat total mencapai 51 Kg yang jika dikonversi mencapai Rp 75 miliar. Kasasi kasus Ronald Tannur sendiri, pada Selasa (22/10/2024) membatalkan vonis bebas PN Surabaya dengan hanya menghukum putra dari politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dengan penjara 5 tahun.