REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara definisi, pajak berarti 'pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.' Sementara itu, bea cukai pun termasuk jenis pajak, yakni yang dikenakan pada barang impor dan barang konsumsi tertentu.
Di Indonesia, urusan pajak dan bea cukai berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Lantas, bagaimanakah syariat Islam memandang seorang Muslim yang bekerja di direktorat terkait itu?
Seperti dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, majelis tarjih lembaga itu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar status hukum memiliki pekerjaan di perpajakan dan urusan bea cukai.
Hal pertama yang mesti dipahami adalah, pemberlakuan pajak dan bea cukai mencakup segala hal yang memiliki nilai. Dengan demikian, cakupannya bukan hanya sebatas pada objek yang halal, tetapi juga tidak menutup kemungkinan pada objek yang haram, semisal perjudian, minuman keras (miras), dan lain-lain.
Maka, hasil pemungutan pajak dan cukai adalah samar (syubhat) menurut hukum Islam. Status itu disebabkan bercampurnya objek pajak dan bea cukai yang halal dan haram walaupun, mungkin, jumlah yang haram tidak lebih besar daripada yang halal. Dengan perkataan lain, tidak semua uang yang diperoleh negara berasal dari hal-hal yang haram.