Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap bangsa besar lahir dari didikan tangan-tangan hebat para guru. Di Indonesia, sejarah perjuangan dan kemerdekaan kita tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Mereka tidak hanya berdiri di depan kelas dengan kapur di tangan, tetapi juga di garis depan perlawanan, menanamkan semangat perjuangan, dan membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai jalan menuju kebebasan.
Guru-guru Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah perjuangan yang panjang, sebelum maupun setelah kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, para guru berkaitan erat dengan dibentuknya organisasi Persatoean Goeroe hindia belanda (PGHB) pada tahun 1912.
Ki Hajar Dewantara adalah salah satu simbol utama peran ini. Dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, ia membawa ide revolusioner: pendidikan adalah hak semua orang, bukan hanya kaum priyayi atau elit. Ia percaya bahwa melalui pendidikan, kesadaran kolektif rakyat akan bangkit, menciptakan generasi yang sadar akan hak-hak mereka sebagai bangsa. Filosofinya, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani,” bukan hanya kata-kata mutiara, tetapi panduan hidup bagi para guru yang ingin membangun bangsa.
Guru juga menjadi tokoh penting dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional. Di awal abad ke-20, mereka mengambil peran aktif di organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah. Di Budi Utomo, misalnya, pendidikan menjadi salah satu fokus utama perjuangan untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme melalui ilmu pengetahuan. Sarekat Islam memanfaatkan guru sebagai penyebar nilai-nilai keadilan sosial dan pemberdayaan ekonomi bagi rakyat kecil. Sementara itu, Muhammadiyah, sejak awal pendiriannya, telah menjadikan pendidikan sebagai inti gerakannya, mendirikan sekolah-sekolah untuk membangun generasi yang cerdas dan beriman.