Senin 25 Nov 2024 12:19 WIB

Tarif PPN Bakal Naik Tahun Depan, Pemerintah Diminta Prioritaskan Kelompok Rentan

Pemerintah juga diharapkan mengoptimalkan potensi dari pajak lain.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
 Orang-orang berkumpul di daerah di Jakarta, Senin (22/5/2023).
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Orang-orang berkumpul di daerah di Jakarta, Senin (22/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025 diharapkan mampu mendongkrak penerimaan negara untuk mendukung pembangunan. Namun, agar kebijakan ini tidak menekan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi, diperlukan langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampaknya.

Pakar Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan, kenaikan PPN merupakan keputusan yang tidak dapat dihindari dalam upaya memperkuat fiskal negara. Namun, dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, perlu diminimalkan.

Baca Juga

"Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi mereka,” katanya kepada Republika, Senin (25/11/2024).

Syafruddin menyarankan beberapa langkah untuk mengoptimalkan dampak kenaikan PPN. Pertama, kenaikan dilakukan secara bertahap, misalnya 0,5 persen per tahun, untuk memberikan waktu adaptasi bagi masyarakat dan dunia usaha.

“Kenaikan bertahap akan membantu mengurangi guncangan langsung pada konsumsi rumah tangga, yang menjadi kontributor utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),” jelasnya.

Kedua, pengecualian barang kebutuhan pokok seperti pangan, obat-obatan, dan layanan kesehatan dari kenaikan PPN. Hal ini penting untuk melindungi kelompok masyarakat rentan dan mencegah inflasi yang tidak terkendali.

Ketiga, pemerintah perlu memberikan kompensasi langsung kepada kelompok berpenghasilan rendah melalui program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Dengan cara ini, daya beli kelompok tersebut tetap terjaga meskipun terjadi kenaikan harga barang.

Selain mengandalkan kenaikan PPN, pemerintah juga diharapkan mengoptimalkan potensi dari pajak lain, seperti pajak penghasilan (PPh) dan cukai. Reformasi perpajakan yang fokus pada peningkatan kepatuhan dan transparansi wajib pajak menjadi langkah penting untuk memaksimalkan penerimaan negara tanpa menambah beban masyarakat secara signifikan.

“Digitalisasi sistem perpajakan harus terus diperkuat. Dengan teknologi yang tepat, pemerintah dapat mengurangi kebocoran dan memastikan bahwa kebijakan seperti kenaikan PPN berdampak maksimal terhadap penerimaan negara,” ujar Syafruddin.

Syafruddin juga mengingatkan, stabilitas makroekonomi, terutama inflasi dan nilai tukar, harus dijaga agar kenaikan PPN tidak memicu dampak negatif yang lebih besar. “Bank Indonesia perlu memastikan likuiditas tetap terjaga, sementara pemerintah harus memastikan kebijakan moneter dan fiskal saling mendukung,” tambahnya.

Lebih lanjut ia menekankan, kenaikan PPN menjadi langkah penting untuk memperkuat penerimaan negara, tetapi dampaknya harus dikelola dengan hati-hati. Dengan penerapan bertahap, pengecualian barang pokok, kompensasi untuk kelompok rentan, dan optimalisasi pajak lainnya, dampak negatif kebijakan ini dapat diminimalkan.

“Jika langkah-langkah tersebut dilakukan, kenaikan PPN tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” kata Syafruddin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement