REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Mahbub Maafi dalam bukunya Tanya Jawab Fiqih Sehari-hari menyebutkan, idealnya, dalam berhubungan intim antara suami dan istri adalah kedua belah pihak harus merasa puas ‘keluar’ bersama-sama. Namun terkadang suaminya lebih dulu orgasme. Perbedaan ini memang sering menimbulkan masalah terutama jika pihak suami yang keluar duluan padahal istrinya belum.
Menurut pendapat ulama hal ini akan menimbulkan perselisihan. "Perbedaan karakter (keluarnya mani di antara suami dan istri) akan menimbulkan perselisihan terutama jika tiap suami keluar terlebih dahulu. Padahal bagi istri keluar secara bersama-sama akan terasa lebih nikmat. Suami tidak boleh mementingkan egonya sendiri sehingga mengabaikan istrinya. Sebab, seringkali istri merasa malu untuk mengungkapkan gejolaknya.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Mushtafa Al-Babi Al-Halabi, 1358/1939 M, Juz II, hal 52).
Bagaimana jika suami keluar duluan, kemudian dia membiarkan istrinya padahal syahwat si istri belum tuntas? Dalam konteks ini apa yang dikemukakan Ibnu Qudamah melalui kitabnya Al-Mughni menarik.
Menurutnya, tindakan suami yang dalam berhubungan badan dan keluar duluan kemudian mengabaikan istrinya padahal dia belum tuntas syahatnya adalah makruh. "Apabila suami keluar terlebih dahulu sebelum istrinya, maka dimakruhkan bagi suami untuk melepaskannya sebelum istri menuntaskan syahwatnya."
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا غَشِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهَ فَلْيُصْدِقْهَا ، فَإِنْ قَضَى حَاجَتَهُ ، وَلَمْ تَقْضِ حَاجَتَهَا فَلَا يُعَجِّلْهَا
Dari Anas bin Malik RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ketika seorang suami menggauli istrinya, maka hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus (falyashduqha). Kemudian ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, maka janganlah terburu-buru untuk mengakhiri sebelum istrinya menuntaskan hajatnya juga.” Demikian itu karena bisa menimbulkan bahaya bagi istri dan menghalanginya untuk menuntaskan syahwat." ( Ibnu Quddamah, al-mughni, Bairut Dar al-fikr, 1405 H, juz VIII, halaman 138).
Menurut Kiai Mahbub, kalimat "Hendaknya dia memberi cinta dengan tulus (falyashduqha)" maksudnya adalah hendaknya dia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan melayani istri di ranjang dengan baik serta penuh kasih sayang. Hal ini mengacu pada penjelasan dalam kitab at-Taysir bi Syarh Jami'i ash-Shaghir karya Abdurrauf al-Munawi.
"Falyasduqha dengan diberi tanda harakat fathah pada huruf yang bertitik dua ( huruf ya) dan diberi tanda dhammah huruf dal-nya berasal dari ungkapan ash shidq fil wudd wa nashh (tulus dalam memberikan cinta dan nasihat). Maksudnya adalah hendaknya ida (suamil menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa dan menggaulinya dengan cara yang baik." (Abdur Rauf Al-Munawi, At-Taysir bin Syarh Jami' ash-Shaghir, Riyad-Maktabah Al Imam As Syafi'i, cet ke-3, 1408 H/1988M, Juz I, hal 175).
Mengacu pada penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa makruh bagi suami ketika berhubungan badan dan keluar terlebih dahulu terburu-buru untuk melepaskan istri atau membiarkannya, sedangkan dia istri belum sampai menuntaskan syahwatnya. Hal ini karena bisa menimbulkan mudarat atau kerugian bagi istri, karena tertunda syahwatnya.
Di samping itu, seorang suami sudah sepatutnya untuk menggauli istrinya dengan penuh kesungguhan, menunjukan keperkasaannya, serta menggauli dengan cara yang baik. Hal ini penting diperhatikan bagi para suami agar terhindar dari percekcokan dengan istri.