REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Center of Economic and Lawa Studies (Celios) Nailul Huda mengkritisi pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengenai kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang disebut hampir pasti diundur. Menurut Nailul, pernyataan tersebut tidak menunjukkan ketegasan pemerintah mengenai kebijakan yang kontroversial tersebut.
“Saya melihat pernyataan Luhut tidak memberikan kepastian apakah tarif PPN tetap naik atau dibatalkan,” kata Nailul saat dihubungi Republika, Kamis (28/11/2024).
Ia menyebut bahwa pemerintah hanya mengulur-ulur waktu, hingga isu tersebut mereda tanpa melihat dampak yang terjadi di lapangan. Lebih lanjut, menurutnya, pemerintah harus segera memberikan pernyataan yang tegas mengenai kejelasannya, dengan memperhatikan kondis efek nyata di tengah masyarakat.
“Harusnya kebijakan kenaikan tarif PPN dibatalkan, bukan ditunda karena efek dari kenaikan PPN ini negatif terhadap perekonomian,” ungkapnya.
Nailul menerangkan, apabila kenaikan PPN menjadi 12 persen diterapkan, pertumbuhan ekonomi bisa semakin menurun di bawah level 4,9 persen. Bahkan dunia usaha merespon negatif kenaikan tarif PPN tersebut karena dikhawatirkan akan mengurangi permintaan.
“Pasalnya, kenaikan tarif PPN satu persen bisa menghasilkan kenaikan harga barang minimal 9 persen. Dunia usaha akan merespon dengan memberikan tambahan harga ke konsumen akhir. Permintaan bisa menurun,” jelasnya.
Lantas, lanjut Nailul, pada akhirnya justru bisa berdampak pada penerimaan negara yang menurun karena permintaan yang lesu. “Dampak inilah yang membuat saya pribadi menolak kenaikan tarif PPN 12 persen,” ungkapnya.
Tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen disebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Sementara tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen.