Kamis 28 Nov 2024 16:02 WIB

Ketimbang PPN, Pemerintah Lebih Baik Tangani Pengemplang Pajak untuk Naikkan Penerimaan

Jika kenaikan PPN dipaksakan, pertumbuhan ekonomi akan terganggu.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung antre untuk berbelanja setelah dibukanya toko digital Scan and Go di CBD Ciledug, Tangerang, Banten, Rabu (8/3/2023). Pemerintah menunda kenaikan PPN 12 persen.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pengunjung antre untuk berbelanja setelah dibukanya toko digital Scan and Go di CBD Ciledug, Tangerang, Banten, Rabu (8/3/2023). Pemerintah menunda kenaikan PPN 12 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Center of Economic and Lawa Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti tingginya penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Menurut hematnya, untuk tujuan meningkatkan penerimaan negara, lebih baik pemerintah menyasar para pengemplang pajak ‘nakal’, ketimbang memungut pajak lebih besar dari masyarakat lewat kenaikan PPN. 

“Pemerintah memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar. Paling mudah bagi pemerintah adalah dengan menaikkan tarif PPN. Namun ada pos penerimaan lain yang belum tergarap yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal,” kata Nailul kepada Republika, Kamis (28/11/2024). 

Baca Juga

Nailul menyinggung soal pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra yang juga adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim S. Djojohadikusumo yang pernah menyampaikan bahwa negara akan mendapat potensi pemasukan hingga ratusan triliun rupiah dari pengusaha sawit, yang mengemplang pajak alias tidak membayar pajak. 

“Hasyim pernah menyampaikan ada Rp 300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN,” jelasnya. 

Nailul turut mengkritisi pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengenai kebijakan kenaikan PPN yang disebut hampir pasti diundur. Menurut Nailul, pernyataan tersebut tidak menunjukkan ketegasan pemerintah mengenai kebijakan yang kontroversial tersebut. 

“Saya melihat pernyataan Luhut tidak memberikan kepastian apakah tarif PPN tetap naik atau dibatalkan. Pemerintah hanya mengulur waktu hingga isu ini reda tanpa melihat dampak yang terjadi di lapangan. Harusnya kebijakan kenaikan tarif PPN dibatalkan, bukan ditunda karena efek dari kenaikan PPN ini negatif terhadap perekonomian,” terang Nailul.

Ia menyebut, apabila kenaikan PPN menjadi 12 persen diterapkan, pertumbuhan ekonomi bisa semakin menurun di bawah level 4,9 persen. Bahkan dunia usaha merespon negatif kenaikan tarif PPN tersebut karena dikhawatirkan akan mengurangi permintaan. 

“Pasalnya, kenaikan tarif PPN satu persen bisa menghasilkan kenaikan harga barang minimal 9 persen. Dunia usaha akan merespon dengan memberikan tambahan harga ke konsumen akhir. Permintaan bisa menurun,” jelasnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement