Kamis 12 Dec 2024 14:11 WIB

Banjir dan Konflik Bersenjata Hancurkan Ekonomi Myanmar

Perekonomian Myanmar akan mengalami kontraksi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Bencana banjir di Myanmar yang dipicu Topan Yagi.
Foto: Sai Aung/AGP
Bencana banjir di Myanmar yang dipicu Topan Yagi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Myanmar mengalami kontraksi tahun ini. Perekonomian Myanmar hancur akibat banjir dan pertempuran antara militer dan pemberontak yang pecah usai junta mengudeta pemerintah demokrasi yang dipimpin Aung San Suu Kyi empat tahun yang lalu.

Bank Dunia mengatakan seperlima bangunan dan sepersepuluh jalan di Myanmar rusak karena banjir yang menyapu seluruh negeri bulan September lalu. Bank Dunia menambahkan banjir yang dipicu hujan deras itu mengakibatkan sekitar 2 juta orang kehilangan rumahnya.

Baca Juga

Sementara, pertempuran antara militer dan pasukan oposisi masih berlangsung di sebagian wilayah Myanmar, mengganggu pertanian dan manufaktur negara itu.

"Tingkat dan intensitas konflik bersenjata masih tinggi, berdampak besar pada kehidupan dan mata pencaharian, mengganggu produksi dan rantai pasokan dan meningkatkan ketidakpastian seputar proyeksi ekonomi," kata Bank Dunia dalam laporannya yang diterbitkan Rabu (11/12/2024).

Secara keseluruhan, perekonomian Myanmar pada tahun fiskal dari April sampai Maret akan mengalami kontraksi 1 persen. Geriliyawan pro-demokrasi dan pasukan bersenjata etnik minoritas menggelar perlawanan ke militer Myanmar yang merebut kekuasaan pada tahun 2021, ketika para jenderal menyingkirkan pemerintahan Aung San Suu Kyi.

Dalam laporannya, Bank Dunia mengatakan PBB memperkirakan 3,5 juta atau sekitar 6 persen dari total populasi Myanmar terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Lebih dari setengah kota-kota dilanda konflik dan pembangunan proyek-proyek besar tertunda.

Baru-baru ini Perwakilan Khusus PBB untuk Myanmar Julie Bishop memperingatkan dengan konflik yang terus terjadi di luar kendali dan penderitaan manusia di tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, negara Asia Tenggara itu sedang mengalami krisis. Mantan menteri luar negeri Australia itu mengatakan Myanmar berisiko menjadi "krisis yang terlupakan."

Bank Dunia melaporkan konflik menekan nilai mata uang Myanmar, kyat yang dalam delapan bulan pertama tahun ini nilainya turun 40 persen terhadap dolar AS di perdagangan non-formal. Hal ini memicu inflasi hingga 25 persen, sementara harga pangan antara bulan April sampai September naik 60 persen.

Kedatangan turis asing hanya satu-perlima dari sebelum pandemi Covid-19 dan kudeta militer. Manufaktur juga melemah karena pemadaman listrik mengganggu produksi.

Bank Dunia mengatakan pemerintah militer Myanmar berhenti merilis data perdagangan pada pertengahan 2024. Tapi analisa data dari mitra dagang menunjukkan ekspor garmen dan gas alam yang menyumbang sebagian besar dari seluruh ekspornya, turun lebih dari 11 persen pada April-September dibandingkan tahun sebelumnya.

Dalam laporan itu, Bank Dunia mengatakan kondisi akan semakin memburuk bila pertempuran terus meningkat.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement