Kamis 26 Dec 2024 18:51 WIB

Dua Dekade Tsunami Aceh: Cerita Penyintas yang tak Pernah Putus Berdoa di Kuburan Massal

Dua dekade berlalu sejak tsunami dahsyat mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004.

Warga berdoa saat berziarah di kuburan massal korban tsunami Ulele Lheu di Banda Aceh, Aceh, Kamis (11/4/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Warga berdoa saat berziarah di kuburan massal korban tsunami Ulele Lheu di Banda Aceh, Aceh, Kamis (11/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH - Beragam cara dilakukan untuk mengenang kisah pilu dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh 2024. Salah seorang penyintas, Nelly mengaku tidak pernah berhenti berdoa di kuburan massal korban musibah besar tersebut hingga 20 tahun lamanya.

“Ziarah ini adalah cara saya mengenang mereka. Rasanya tidak lengkap jika tidak mengirimkan doa di sini,” kata Nelly saat ditemui di kuburan massal Ulee Lheue Banda Aceh, Kamis (26/12/2024).

Baca Juga

Dua dekade telah berlalu sejak tsunami dahsyat mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Namun, kenangan pahit itu masih melekat di hati para penyintas. Kuburan Massal Ulee Lheue menjadi salah satu tempat mengenang dan mendoakan para syuhada tsunami.

Meski 20 tahun telah berlalu, mereka tidak berhenti melapalkan doa untuk orang-orang terkasih yang menjadi korban bencana gempa dan tsunami dengan ketinggian gelombang hampir mencapai 30 meter. Nelly merupakan salah seorang penyintas yang kini menetap di Banda Aceh. Dia masih belum lupa bagaimana gelombang tsunami merenggut banyak nyawa, termasuk sepupu dan keluarganya.

Nelly bercerita, saat kejadian, dia masih menjadi mahasiswa di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dan berdomisili di wilayah Gampong Mulia Banda Aceh. Asalnya sendiri dari Kabupaten Bireuen. Dia berhasil selamat karena memilih bertahan di atap rumah tetangga samping indekosnya.

“Saya sedang di kos bersama teman-teman. Setelah gempa besar, bapak kos menyuruh kami naik ke lantai dua, bahkan ke atap rumah tetangga. Dari atas, kami menyaksikan air bah menghantam, membawa mobil, pohon, dan puing-puing rumah,” ujarnya.

Namun, sepupunya yang tinggal di Lampulo bersama bayi berusia dua tahun tidak selamat. Kehilangan itu masih membekas dalam ingatannya. “Sepupu saya mungkin lari saat air datang, tetapi tidak berhasil menyelamatkan diri,” ujarnya.

Kini, Nelly bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu SMA di Banda Aceh. Kenangan tsunami terus ia bawa sebagai pengingat untuk selalu bersyukur.

Nelly, bukan satu-satunya yang datang membawa kenangan dan doa. Lina (45), warga Ulee Kareng Banda Aceh, juga tidak pernah berhenti berziarah ke kuburan massal Ulee Lheue. "Setiap peringatan tsunami pasti ke sini. Hari-hari biasa, kalau lewat, saya juga menyempatkan diri mampir," katanya.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement