Kamis 02 Jan 2025 22:00 WIB

Penusukan Santri, Ancaman Miras, dan Pertaruhan Masa Depan Yogyakarta

Peredaran miras di Yogyakarta perlu segara diatasi

Ribuan santri dari berbagai pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta berkumpul di halaman Kepolisian Daerah (Polda) DIY untuk menggelar aksi damai menuntut keadilan dan perlindungan bagi santri di tengah maraknya kasus kekerasan dan peredaran minuman keras (miras), Selasa (29/10/2024).
Foto: Muhammad Agustian Reviyolanda
Ribuan santri dari berbagai pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta berkumpul di halaman Kepolisian Daerah (Polda) DIY untuk menggelar aksi damai menuntut keadilan dan perlindungan bagi santri di tengah maraknya kasus kekerasan dan peredaran minuman keras (miras), Selasa (29/10/2024).

Oleh : Gus M Anis Mashduqi, Pengasuh PPM Al-Hadi Yogyakarta, dosen UIN Sunan Kalijaga

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta dikenal tidak hanya sebagai pusat kebudayaan, tetapi juga sebagai mercusuar pendidikan dan pariwisata. Kota ini merupakan destinasi utama bagi jutaan wisatawan setiap tahun, yang tertarik oleh harmoni nilai tradisional dan modernitas yang kental terasa di setiap sudutnya.

Namun, di balik pesona itu, sebuah ancaman perlahan mencuat—peredaran minuman beralkohol yang semakin tidak terkendali. Fenomena ini menjadi paradoks bagi Yogyakarta yang dikenal menjunjung tinggi nilai moral, budaya luhur, dan tatanan sosial yang harmonis.

Baca Juga

Realitas yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa konsumsi alkohol telah menjangkau berbagai lapisan masyarakat, termasuk generasi muda yang menjadi tumpuan masa depan.

Ketersediaan alkohol yang mudah diakses di toko-toko kecil hingga platform online menempatkan banyak pihak pada risiko yang sama. Hal ini tidak hanya melukai karakter budaya Yogyakarta yang lekat dengan nilai-nilai adiluhung, tetapi juga menciptakan kerentanan sosial yang berpotensi meluas.

Perdebatan mengenai alkohol tidak lagi sebatas isu kesehatan, tetapi telah menyentuh inti persoalan tentang bagaimana Yogyakarta akan mempertahankan jati dirinya di tengah gelombang disrupsi digital dan globalisasi yang sering kali mengaburkan batas moralitas.

Walaupun memberikan keuntungan ekonomi bagi segelintir pelaku usaha, namun kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih signifikan.

 

Regulasi Alkohol: instrumen tanpa taring?

Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan hukum untuk mengatur peredaran alkohol, seperti Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Permendag Nomor 25 Tahun 2019, serta berbagai Peraturan Daerah (Perda) seperti yang berlaku di Bantul dan Sleman.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 memuat penjelasan kategori minuman beralkohol golongan A (kadar etil alkohol atau etanol sampai 5 persen, golongan B (kadar 5-20 persen), dan golongan C (kadar 20-55 persen).

Ketiga golongan minuman beralkohol tersebut ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan, baik pada tahap produksi, pengadaan maupun peredarannya. Dalam pasal 7 Perpres tersebut dijelaskan bahwa minuman beralkohol dapat juga dijual di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Di Kabupaten Bantul, pasal 26 Perda Nomor 4 Tahun 2019 menyebutkan bahwa hanya tempat tertentu yang diperbolehkan dan harus mendapatkan izin SIUP-MB (Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol). Namun, pelaksanaan di lapangan sering kali menunjukkan kurangnya pengawasan efektif, sehingga toko dan outlet yang tidak memenuhi persyaratan tetap beroperasi.

Sementara itu, di Kabupaten Sleman, Perda Nomor 8 Tahun 2019 juga melarang peredaran minuman beralkohol di lokasi tertentu, termasuk lingkungan pemukiman, minimarket, tempat keramaian, dan fasilitas pendidikan.

BACA JUGA: Sektor Penerbangan Israel Terpukul Hebat Akibat Ulah Sendiri Genosida Gaza

Pasal 12 perda ini juga menegaskan larangan keras terhadap peredaran di tempat yang tidak mendapatkan izin pemerintah. Meski demikian, lemahnya penegakan hukum membuat peraturan ini sering kali diabaikan. Aparat penegak hukum harus lebih proaktif dalam melakukan razia dan menindak pelanggaran.

Keberadaan regulasi ini belum cukup untuk menghadapi tantangan yang real. Klausul seperti "penjualan di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota" sering kali membuka celah bagi pihak-pihak yang ingin mengelabui aturan.

Celah ini semakin melebar dengan maraknya penjualan daring yang sulit diawasi. Bahkan setelah instruksi gubernur dan penutupan beberapa outlet ilegal, banyak dari mereka kembali beroperasi tanpa hambatan. Fenomena ini menunjukkan adanya kelemahan dalam koordinasi, ketegasan, dan konsistensi pelaksanaan hukum.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement