Selasa 14 Jan 2025 17:52 WIB

Kerugian Akibat Kemacetan di Jakarta Sentuh Rp 65 Triliun per Tahun

Ernita menyebut layanan angkutan umum di perkotaan masih sangat rendah.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pengendara terjebak kemacetan saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (13/1/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara terjebak kemacetan saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (13/1/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemacetan tak hanya berdampak pada permasalahan waktu. Imbasnya bisa ke berbagai arah. Salah satunya terhadap sisi ekonomi. Kementerian Perhubungan mencatat khusus di DKI Jakarta saja, kerugian ekonomi akibat kemacetan menyentuh angka Rp 65 triliun per tahun.

"Ini sumbernya RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2020-2024," kata Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, Ernita Titis Dewi, dalam sebuah diskusi di kantornya, di Jakarta, Selasa (14/1/2025).

Baca Juga

Ia melanjutkan, di Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar, kerugian akibat kemacetan sekitar Rp 12 triliun per tahun. Itulah mengapa berbagai skema pengaturan lalu lintas jalan raya, selalu mengalami penyempurnaan. Pada saat yang sama, pemerintah juga terus mendorong agar pengguna angkutan umum mengalami peningkatan.

Ernita menyebut layanan angkutan umum di perkotaan masih sangat rendah. Penggunaan kendaraan pribadi mendominasi. Pemerintah merespons hal itu.

Ini termasuk salah satu latar belakang munculnya pengelolaan dan pengembangan angkutan umum massal perkotaan berbasis jalan dengan skema Buy the Service (BTS). Intervensi pemerintah diperlukan untuk menghindari kegagalan pasar layanan angkutan perkotaan.

"Pemerintah dan pemerintah daerah itu merupakan instansi yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan umum perkotaan sesuai wilayah kewenangannya. Jadi salah satu bentuk tanggung jawabnya itu adalah pemberian subsidi layanan angkutan perkotaan," kata Ernita, dalam sebuah diskusi di Kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa (14/1/2025).

Aturan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009. Bunyinya negara bertanggung jawab tas lalu lintas angkutan jalan raya, dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.

Dalam hal ini, jalan, instansinya di Kementerian Perhubungan. Kemudian angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamaat, aman, nyaman, dan terjangkau.

"Selanjutnya pemerintah atau pemda wajib menjamin tersedianya angkutan umum. Aturan mengenai hal itu tertuang dalam UU Nomor 22/2009, pasal 139," ujar Ernita.

Kemudian di aturan turunannya diatur dalam Peraturan Menteri No.9 Tahun 2020. Ini mengenai penumpang umum perkotaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024; Penyediaan subsidi angkutan umum massal perkotaan. Lalu Renstra Ditjen Hubdat 2020-2024. Ini perihal program pengembangan angkutan massal berbasis jalan dengan skema pembelian layanan.

"Demikian juga nanti untuk 2025 sampai dengan 2029 tentunya akan mengikuti kota-kota yang sudah ditetapkan nanti di RPJM dan Renstra Kementerian Perhubungan. Dan untuk RPGM dan Renstra 2025-2029 itu nanti sekarang pada tahap proses penyusunan," kata Ernita.

Subsidi penumpang angkutan umum perkotaan, lanjut dia, diberikan dengan tujuan stimulus. Kemenhub sebagai instansi pembina memberikan stimulus pengembangan angkutan umum perkotaan. Kedua, meningkatkan minat penggunaan angkutan umum. Ketiga kemudahan mobilitas masyarakat di kawasan perkotaan.

"Apabila kementerian perhubungan tidak memberikan subsidi itu tujuannya tadi, untuk naik kendaraan umum itu biayanya akan lebih mahal. Nah untuk itu, tadi ada pertimbangan untuk stimulus, meningkatkan minat pengguna, kalau tarifnya murah tentunya kan minat penggunaan akan menjadi lebih tinggi," ujar Ernita.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement