Senin 20 Jan 2025 17:20 WIB

Kesepian di Ende, Bung Karno Bahas Pengultusan Keturunan Nabi

Tak ada sambutan Bung Karno di Ende. Ini membuat Inggit heran, karena seperti tak ada orang Ende yang mengenal Bung Karno. Dalam kesepian, Bung Karno surat-menyurat dengan A Hasan, bahas pengeramatan keturunan Nabi.

Rep: oohya! I demi Indonesia/ Red: Partner
.
Foto: network /oohya! I demi Indonesia
.

Dibuang ke Ende, Flores, Bung Karno mengalami kesepian. Ia sering merenung di bawah pohon sukun, selain melakukan surat-menyurat dengan A Hasan di Bandung, membahas keislaman. Salah satunya, ia mempersoalkan pengeramatan atau pengultusan terhadap keturunan Nabi, Sumber: priyantono oemar

Di Jawa, Bung Karno dipuja-puji. Tapi, begitu di Ende, Flores, Bung Karno merasakan kesepian lahir dan batin. Tak ada masyarakat yang menyambutnya.

“Bersama-sama kesunyian lahir, ia juga menderita kesunyian batin: pujaan orang-orang Jawa itu dijauhi oleh penduduk Flores yang ketakutan,” tulis Bernhard Dahm di buku Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.

Karena kesepian itu, ia memilih sering merenung di bawah pohon sukun dan melakukan surat-menyurat dengan A Hasan, pendiri Persatuan Islam di Bandung. Di surat pertama kepada A Hasan, ia meminta kiriman buku-buku Islam dan mempersoalkan pengeramatan atau pengultusan terhadap keturunan Nabi.

Bung Karno dan keluarga menempuh perjalanan delapan hari menggunakan kapal dari Surabaya untuk mencapai Ende. Ia tiba di Ende pada 14 Januari 1934 dan hanya membawa satu peti buku.

Tak ada yang mengelu-elukannya, sehingga membuat heran Inggit, istrinya. “Tidak mungkin orang-orang di sini tidak mengenalmu. Mereka tentu sudah membaca tentang dirimu atau melihat gambarmu di surat kabar,” kata Inggit suatu hari setelah Amsi, yang ibu, meninggal dunia pada Oktober 1935, seperti yang diceritakan di buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Kata Bung Karno, bukan tak ada yang kenal dirinya, melainkan mereka sengaja menjauh karena mengenalnya. Mereka tak mau berurusan dengan polisi Belanda.

Tapi kemudian memang ada yang mau bertemu dengan Bung Karno. Ia kemudian bisa membentuk kelompok sandiwara, yang ia namai Kelompok Sandiwara Kelimutu.

“Mula-mula, demikian kenang Sukarno di kemudian hari, ‘hanya dua atau tiga’ orang saja yang mempunyai keberanian mengunjunginya,” tulis Bernhard Dahm mengutip cerita Bung Karno yang dimuat di koran Asia Raya pada Oktober 1942.

Bernhard Dahm mengungkap, Bung Karno benar-benar merasa jatuh mengetahui kenyataan dijauhi orang-orang selama di Ende. “Maka dalam saat-saat kesepian ini Sukarno kembali mencari perlindungan dalam Islam,” tulis Bernhard Dahm.

Pada 1 Desember 1934, ia berkirim surat pertama ke A Hasan, minta dikirimi buku-buku keislaman. Ia ingin mempelajari Islam secara mendalam.

Ia bertanya soal isu yang sedang ramai dibahas orang. Yaitu pengeramatan keturunan Nabi Muhammad SAW yang ia anggap sudah berlebihan.

“Ia berpendapat bahwa pengeramatan orang-orang keturunan Nabi Muhammad SAW itu sudah mendekati kemusyrikan, dan bahwa mereka yang mengira ada suatu ‘aristokrasi Islam’ adalah tersesat, karena ‘tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam’,” tulis Bernhard Dahm mengutip isi surat Bung Karno.

Pada surat kedua yang ia kirim pada 25 Januari 1935, Bung Karno bertanya soal hadis. Ia mengutip orang Inggris yang menilai kunpulanhadis Bukhari-Muslim sebagai hadis-hadis yang lemah. Tapi hadis Bukhari-Muslim menjadi pegangan Muslim di Indonesia yang kemudian dianggap oleh Bung Karno membuat Islam mengalami kemunduran.

Buku hadis Bukhari-Muslim yang diminta Bung Karno kepada A Hasan untuk dikirim ke Ende belum ada terjemahan bahasa Indonesia. Masih dalam bahasa Arab, yang tidak dipahami oleh Bung Karno, sehingga A Hasan tak bisa mengirimkannya ke Ende.


Bung Karno tak hanya mempersoalkan pengeramatan atau pengultusan terhadap keturuan Nabi. Di surat berikutnya yang ia kirim dari Ende itu, ia menegaskan ingin mempelajari hadis.

Ia ingin mendapatkan jawaban soal kekolotan, ketahayulan, dan antirasionalisme dalam Islam yang disebabkan oleh hadis-hadis lemah yang dipercaya oleh umat Islam itu. “Padahal tidak ada agama yang lebih rasional dan simplistis daripada Islam,” kata Bung Karno.

Bung Karno menyebut Islam mengalami kemunduran 1.000 tahun. Dalam kesepiannya di Ende itu, ia tak berhenti untuk terus mengkritik keterbelakangan Islam.

Diskusi keislaman melalui surat dengan A Hasan itu sedikit banyak menjadi bekal Bung Karno ketika kemudian ia dipindah ke Bengkulu pada 1938. Di Bengkulu ia tak lagi mengalami kesepian.

Bengkulu merupakan salah satu basis Muhammadiyah. Ia, menurut Bernhard Dahm, memasuki lingkungan baru ini dengan cara demonstratif di Bengkulu.

“Pada awal 1939, Sukarno dan istrinya meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah, karena di sebuah sudut ruangan dipasang tabir untuk memisahkan kaum wanita dan kaum pria,” tulis Bernhard Dahm.

Sebelumnya, kata Bernhard, “Sukarno telah menerangkan kepada pengurus Muhammadiyah bahwa ia menganggap tabir itu sebagai suatu lambang perbudakan kaum wanita, yang tidak diharuskan atau dikehendaki oleh Allah atau Nabi.”

Bung karno pun lantas menjadi pusat perhatian. Pandji Islam mengirimkan wartawannya ke Bengkulu untuk mewawancari Bung Karno.

Priyantono Oemar

sumber : https://oohya.republika.co.id/posts/505811/kesepian-di-ende-bung-karno-bahas-pengultusan-keturunan-nabi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement
Advertisement