Kamis 23 Jan 2025 16:01 WIB

Plengkung Gading Bakal Ditutup, Tengok Dulu Sejarahnya di Keraton Yogyakarta

Dilihat modelnya, Benteng Keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia.

Bangunan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading sebagai pintu masuk Keraton Yogyakarta dari sisi selatan di Kota Yogyakarta.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bangunan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading sebagai pintu masuk Keraton Yogyakarta dari sisi selatan di Kota Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Silvy Dian Setiawan

Kabar penutupan Plengkung Gading yang berlokasi di Patehan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta, DIY, ramai menjadi perbincangan di media sosial. Plengkung Gading sendiri merupakan pintu atau gerbang yang melengkung berwarna putih, yang mana menghubungkan Jalan MT Haryono dan kawasan yang ada dalam Beteng (Benteng) Keraton Yogyakarta.

Baca Juga

Plengkung berdiri di sebelah selatan Alun-Alun Selatan Yogyakarta, yang juga disebut sebagai Plengkung Nirbaya. Plengkung Gading juga merupakan salah satu dari lima Plengkung Keraton Yogyakarta yang menjadi sarana keluar masuk Beteng Keraton Yogyakarta.

Selain Plengkung Gading, empat plengkung lainnya adalah Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah barat laut, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, dan Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. Plengkung Madyasura kadang disebut juga Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Buntet (tertutup).

Pada tiap Plengkung terdapat jembatan gantung yang dapat ditarik ke atas, sehingga Plengkung tertutup dan jalan masuk ke dalam benteng terhalang oleh jagang. Semula, Plengkung ini terbuka dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Namun, jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi 05.00 WIB hingga 20.00 WIB, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.

Humas Keraton Yogyakarta, Vinia R Prima mengatakan, desain Benteng Keraton Yogyakarta berbeda dibanding benteng-benteng kerajaan Mataram Islam sebelumnya. Terutama tampak pada gerbang-gerbang yang tersebar di segala penjuru Beteng.

Benteng Keraton Yogyakarta juga disebut sebagai tembok Baluwarti, yang merupakan tembok yang mengelilingi kawasan Keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi merupakan sosok yang merancang benteng ini, dan dulunya ia belajar banyak dari jatuhnya ibukota Mataram-Kartasura ke tangan pemberontak pada peristiwa Geger Pacina/Perang Cina pada 1740-1743.

Dalam peristiwa itu, pasukan Pemberontak Cina dan Jawa bergabung melawan VOC. Mereka menyerbu dan merebut Keraton Kartasura karena memandang bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749) memihak VOC.

"Dilihat dari modelnya yang mirip dengan benteng-benteng Eropa, kemungkinan besar Benteng Keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia yang sempat diamati oleh Patih Kadipaten, Mas Tumenggung Wiroguno selama kunjungannya ke sana pada awal 1780-an,” kata Vinia kepada Republika.co.id di Yogyakarta, Rabu (22/1/2025).

Dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di Keraton Yogyakarta, tembok Baluwarti yang awalnya hanya berupa pagar dari kayu, merupakan bagian paling akhir yang diselesaikan oleh Pangeran Mangkubumi. Benteng ini selesai dibangun pada tahun Jawa 1706 atau tahun 1782 Masehi.

Pembangunan benteng dipimpin oleh R Rangga Prawirasentika Bupati Madiun, kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom yang di kemudian hari bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hamengku Buwono II pun masih memperkuat lagi Benteng Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahannya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement