REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut, banyak terjadi praktik oplos LPG di lapangan. Menurut dia, idealnya harga jual LPG 3 kilogram (kg) berkisar Rp 18 ribu sampai Rp 19 ribu. Nyatanya, ia menemukan gas melon dijual sampai Rp 25 ribu bahkan Rp 30 ribu di tingkat pengecer.
"Kita melakukan penataan ini kan dalam rangka memastikan bahwa subsidi itu tepat sasaran, karena kita itu subsidinya itu Rp 87 triliun per tahun dengan perhitungan per galon itu per tangki itu maksimal harganya sebenarnya di angka 18 19, sudah paling jelek-jelek begitu kalau ada mark up itu sudah paling jelek 20 ribu," ucap Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (4/2/2025).
Menurut dia, jika sampai ada gas melon dijual sampai Rp 25 ribu dan Rp 30 ribu, hal itu berarti subsidi tidak tepat sasaran. Yang kedua, Bahlil menyoroti, adanya praktik gas melon dioplos untuk selanjutnya dijual ke industri.
Untuk menata hal itu, Kementerian ESDM membuat tata kelola penyaluran gas melon. Selama ini, prosesnya gas 3 kg dari Pertamina disalurkan ke agen, dari agen ke pangkalan. "Masih bisa dikoordinasian karena masih pakai aplikasi, tapi pangkalan ke pengecer nah itu sudah-sudah susah untuk di-tracking," ucap Bahli.
Dia mengakui, kelemahan pangkalan adalah lokasinya tidak dekat dengan rumah, RT atau RW. Masyarakat yang bisa beli dekat rumah semisal 50-100 meter, kata Bahlil, dengan sistem pangkalan harus membeli sejauh 500 meter dan satu kilometer (km).
"Kemudian perintah Bapak Presiden kepada kami baik tadi malam tadi pagi adalah memastikan agar subsidi tepat sasaran tetap jalan, namun masyarakat harus mendapat juga dengan cara mudah, maka solusi yang kita bangun atas perintah Bapak Presiden pengecer semua kita naik kelaskan menjadi subpangkalan," kata Bahlil.
Ketua umum DPP Partai Golkar itu berharap, subpangkalan ke depannya mendapatkan fasilitas IP supaya Pertamina bisa mengontrol harga jual gas melon dan siapa pembelinya. "Nah ini lagi kita mempertimbangkan juga agar RW ini bisa menjadi subpangkalan karena yang tahu masyarakat di sekitarnya itu kan RW, ini lagi kami mempertimbangkan gitu ya," ujar Bahlil.
Dia juga mengakui, kebijakan yang berlaku sekarang adalah hasil kajian tahun 2023. Hal itu bedasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penyaluran subsidi tidak tepat sasaran.
"Gini ini kan semuanya adalah kebijakan yang sudah kita kaji secara mendalam jadi ini sebenarnya barang sudah dari 2023 dengan hasil ada audit dari BPK bahwa ada penyalahgunaannya adalah dari oknum-oknum pengecer, tapi sudahlah kesalahan itu tidak usah disampaikan ke siapa-siapa," kata Bahlil.