REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Presiden AS Donald Trump pada Kamis menandatangani perintah eksekutif yang mengesahkan sanksi terhadap Mahkamah Pidana Internasional. Ini dilakukan menyusul putusan pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Perintah Trump ini dikeluarkan dua hari setelah ia menjamu Perdana Menteri Netanyahu untuk melakukan pembicaraan di Washington. Baik AS maupun Israel bukan anggota ICC dan enggan mengakui mahkamah tersebut.
Trump dalam periode pertamanya sempat memberikan sanksi kepada ICC yang berbasis di Den Haag karena menyelidiki dugaan kejahatan perang AS di Afghanistan. Sanksi itu kemudian dicabut oleh Joe Biden.
Associated Press melaporkan, melalui perintah Trump itu AS akan menjatuhkan sanksi yang “nyata” dan “signifikan” kepada orang-orang yang bekerja dalam penyelidikan ICC terhadap warga negara atau sekutu AS, seperti Israel, sesuai dengan perintah eksekutif Trump. Langkah-langkah tersebut termasuk membekukan aset-aset orang-orang yang terkena sanksi di AS dan melarang mereka atau keluarga mereka memasuki negara tersebut.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November 2024 lalu resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant atas dugaan tindak kejahatan perang.
"ICC dengan ini mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dua individu, Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant, atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan setidaknya dari 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024," demikian pernyataan ICC.
Tanggal 20 Mei yang disebut dalam pernyataan itu merujuk pada tanggal di mana jaksa ICC mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap mereka.
Dengan demikian, ICC menolak argumen Israel yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tak memiliki yurisdiksi untuk memerintahkan penangkapan Netanyahu dan Gallant.
Terkait kejahatan mereka, ICC menemukan dasar yang masuk akal untuk meyakini bahwa kedua orang tersebut bertanggung jawab atas tindak kejahatan perang dalam bentuk "memanfaatkan kelaparan sebagai metode peperangan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang meliputi pembunuhan, penyiksaan, dan tindakan tak manusiawi lainnya".
“ICC juga menemukan dasar yang masuk akal untuk meyakini bahwa Netanyahu dan Gallant masing-masing bertanggung jawab secara pidana sebagai penguasa sipil untuk kejahatan perang dalam bentuk secara sengaja mengarahkan serangan terhadap populasi sipil,” demikian menurut ICC.