REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kebudayaan Fadli Zon memanggil para peneliti yang pro-kontra terkait keberadaan situs Gunung Padang. Ada enam peneliti yang dihadapkan ke Menbud dan Wakil Menbud Giring Ganesha, Selasa (11/2/2025).
Semuanya diminta untuk memaparkan hasil penelitian mereka terkait Gunung Padang dalam diskusi publik bertajuk “Melihat Kembali Nilai-Nilai Penting Situs Cagar Budaya Nasional Gunung Padang: suatu Upaya Pelestarian Cagar Budaya Berkelanjutan”. Dalam catatan pers, ini untuk pertama kalinya kedua kubu pro kontra situs Gunung Padang didudukkan bersama dan membahas perbedaan mereka.
Keenam peneliti itu datang dari dua disiplin ilmu yakni arkeologi dan geologi. Peneliti arkeolog adalah arkeolog senior Dr Junus Satrio Atmodjo, arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Lutfi Yondri, dan arkeolog sekaligus dosen UI Dr Ali Akbar. Sementara geolog yang datang adalah Prof Sutikno Bronto, peneliti BRIN Prof Danny Hilman Natawidjaja, dan Dr Taqyuddin.
Dalam pidato pembukaan diskusinya, Menbud mengatakan situs Gunung Padang masih menimbulkan tanda tanya besar. Ini yang menjadi tantangan bagi arkeolog, sejarawan, arsitek dan peneliti lainnya. "Apa sebetulnya situs Gunung Padang itu? Dulunya seperti apa?" kata Fadli Zon.
Ia menekankan, pertanyaan publik itu perlu dijawab oleh para peneliti. Inilah yang ke depan harus bisa dipecahkan oleh para peneliti. Meski demikian, Menbud mengakui jawaban persoalan situs Gunung Padang bisa didapat dengan cepat atau belum akan terjawab. Ia memberi contoh persoalan di piramida di Mesir, meski sudah diteliti lebih dari 40 tahun masih menimbulkan pro-kontra di lingkungan peneliti di sana.
"Kita dengar semua perspektif dari berbagai latar belakang. Kita tidak ingin mulai dari nol lagi, memang perlu ada satu kesimpulan," kata politisi Partai Gerindra ini.
Ada dua perbedaan utama dalam penelitian situs Gunung Padang. Pertama adalah apakah situs megalitik itu buatan warga di sekitarnya atau dibentuk oleh alam lalu dimodifikasi oleh warga sekitarnya. Ini dianggap penting karena harus benar-benar meneliti lapisan tanah, bebatuan yang menjadi fondasi, serta faktor temuan arkeologis lainnya.
Kedua adalah soal umur situs Gunung Padang. Soal umur ini sudah menjadi kontroversi sejak 2011, ketika itu staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Arief, membentuk Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) meneliti intensif Gunung Padang dengan pendekatan geologis dan arkeologis.
Dari hasil penelitian yang dipaparkan Prof Danny Hilman, TTRM mengeklaim bahwa Gunung Padang merupakan situs yang memiliki tiga lapisan budaya yang berbeda umur budayanya. Unit 1 adalah situs yang terlihat saat ini, dengan umur antara 3.000 sampai 4.000 tahun yang lalu.
Unit 2 adalah berupa gundukan tanah urug serta bongkahan batuan lonjong yang menjadi seperti fondasi situs. Batuan ini dipercaya disusun oleh pembuat Gunung Padang dengan umur situs diperkirakan 7.500-8.000 tahun yang lalu. Unit 3 adalah gundukan terdalam dengan temuan beberapa bola batu. Diperkirakan lapisan ini adalah yang tertua, karena tes carbon dari temuan yang diklaim artefak berumur lebih dari 16 ribu tahun lalu.
"Gunung Padang mungkin tempat peradaban tertua," ujar Danny Hilman. Ia menambahkan di sinilah kontroversi sejarah Gunung Padang yang terbesar. Karena umumnya sejarah menempatkan pada periode 16 ribu tahun yang lalu, peradaban manusia di Indonesia masih prasejarah, belum semaju itu untuk membuat dasar situs sebesar Gunung Padang. "Ini kontroversial utamanya," kata dia.
Arkeolog BRIN Lutfi Yondri mengingatkan bahwa penelitian Gunung Padang harus mengacu pada artefak untuk interpretasinya. Sehingga kalau ada klaim umur situs amat tua, maka harus dibuktikan dengan artefak tertentu dan konteks lapisan budayanya, bukan sekadar lapisan tanah geologi.
Dari penelitian yang ia lakukan, Lutfi lebih percaya kalau Gunung Padang berusia lebih muda, di abad ke-2 atau pertama sebelum masehi. "Kalau disebutkan angka ribuan tahun lalu, dari presentasi tadi, di mana manusianya? Bagaimana budayanya?" kata Lutfi, mempertanyakan paparan Prof Danny Hilman.
Lutfi kemudian menjelaskan, dari penelitian arkeologi tertua di Jawa Barat saat ini adalah situs Gua Pawon. Manusia di gua tersebut berumur sekitar 11 ribu tahun yang lalu. Sementara pertanggalan TTRM justru lebih tua dari situs Gua Pawon. Menurut Lutfi, di sinilah bentuk kelemahan argumen TTRM terkait umur Gunung Padang.
"Manusia ketika itu mereka masih tinggal di gua, belum bisa himpun batu, dan bikin kelompok masyarakat. Ini verifikasi arkeologi nya," kata Lutfi.