Selasa 25 Feb 2025 00:20 WIB

BPDP: Indonesia Harus Siapkan Minyak Nabati Gantikan Energi Fosil

Indonesia harus unggul dalam transformasi energi.

Ilustrasi pengolahan energi.
Foto: Pertamina
Ilustrasi pengolahan energi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menyatakan Indonesia harus menyiapkan minyak nabati, salah satunya berbahan baku sawit untuk menggantikan energi fosil guna mewujudkan swasembada energi sebagai bagian program Astacita Presiden Prabowo Subianto

Kepala Bidang Perusahaan BPDP Achmad Maulizal mengatakan sebagai komoditas strategis, minyak sawit menjadi bagian penting dalam mendukung ketahanan pangan dan energi termasuk penguatan hilir yang diusung pemerintah saat ini.

Baca Juga

"Penguatan sawit ini sudah tertuang di program-program Presiden Prabowo seperti dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)," katanya dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit "Strategi Penguatan Hilirisasi Sawit Bagi Pangan dan Energi Indonesia" di Bogor, Senin.

Untuk mencapai Indonesia emas 2045, lanjutnya, BPDP berkomitmen untuk mendorong kemandirian pangan dan energi, salah satunya pada tahun ini terus menggenjot pelaksanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk meningkatkan produktivitas tanaman.

Tanpa PSR, menurut Mauli produktivitas sawit Indonesia terus menurun yang mana saat ini saja, produktivitas petani hanya 2,5-3 ton per ha per tahun.

Sementara itu Direktur Bioenergi Kementerian ESDM R Edi Wibowo menyebut kebutuhan CPO ke depan akan terus bertambah untuk program biodiesel yang terus ditingkatkan persentasenya.

Dia menjelaskan untuk program B40 tahun 2025 diperkirakan mencapai 15,6 juta ton kebutuhan CPO. Program B40 adalah program pemerintah untuk menerapkan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025.

Edi mengungkap bahwa penerapan biodiesel saat ini relatif lancar baik dari sisi pasokan maupun penyaluran. Dia mencontohkan dari sisi kualitas, saat ini sudah jarang terdengar isu terkait teknis seperti mesin yang cepat rusak.

Lebih lanjut, manfaat biodieselnya juga signifikan bagi negara dengan setidaknya menghemat devisa negara sebesar 9,33 miliar dolar AS atau sekitar Rp149,28 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS) sepanjang 2024.

Dia memproyeksikan pada B40 setidaknya devisa yang dapat dihemat sebesar Rp147,5 triliun, pengurangan emisi sebesar 41,46 juta ton CO2 ekuivalen, dan peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp20,98 triliun.

Sementara itu, Kepala Bidang Sustainability Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Rapolo Hutabarat mengatakan pelaku usaha terus mendukung program pemerintah dalam meningkatkan mandatori biodiesel.

Dia merinci sejak 2005 kapasitas terpasang biodiesel terus naik, tahun 2024 mencapai lebih dari 20 Juta kilo liter (k/l). Selain itu terdapat juga bahan energi terbarukan seperti bioethanol dan bioavtur yang harus didorong ke depan oleh pemerintah.

"Program bioethanol itu belum berjalan seperti yang ditetapkan regulasi. Kita dorong program bioethanol bisa jalan baik dari sawit atau minyak nabati lainnya,” ujarnya.

Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fenny Sofyan menjelaskan tantangan bagi program biofuel di Indonesia berkaitan dengan penurunan produksi dan produktivitas sawit.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan, lanjutnya, adalah PSR namun persoalannya terjadi ketidakpastian hukum karena banyaknya Kementerian/Lembaga yang mengatur dan/atau terlibat dalam industri sawit, terdapatnya peraturan perundangan yang tumpang tindihdan Kebijakan yang mudah berubah.

“GAPKI berharap pemerintah dapat mendukung sektor hulu melalui kepastian hukum dan legalitas perkebunan," katanya dalam kegiatan yang digelar Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan BPDP, Gabungan Industri Makanan dan Minuman Indonesia (GIMNI) dan Aprobi.

Sementara Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengharapkan dampak positif program B40 kepada petani sawit untuk menjaga stabilitas harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit.

Menurut dia, dibandingkan program B30 dan B35, saat program B40 mulai dijalankan ternyata harga TBS sawit turun menjadi Rp1.000-Rp1.200 per kilogram.

Dia memperkirakan penurunan harga TBS tersebut akibat dari pelarangan ekspor produk minyak sawit berkadar asam tinggi seperti POME dan HAPOR sebab, harga sawit asam tinggi sekitar Rp9.000 per kg, sedangkan harga CPO Rp13.000an per kg.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement