REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan alokasi subsidi listrik sebesar Rp 97,37 triliun hingga Rp 104,97 triliun pada 2026. Subsidi ini akan disalurkan kepada sekitar 44,88 juta pelanggan, dengan prioritas utama kepada rumah tangga miskin dan rentan.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jismin P Hutajulu, menyatakan bahwa subsidi tersebut merupakan bagian dari upaya mendorong transisi energi yang lebih efisien dan adil.
“Ini untuk mendorong transisi energi yang lebih efisien dan adil dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, fiskal, dan lingkungan,” ujar Jismin.
Beberapa parameter makroekonomi yang menjadi dasar perhitungan subsidi di antaranya adalah nilai tukar rupiah yang diasumsikan berada pada kisaran Rp 16.500 hingga Rp 16.900, harga minyak mentah Indonesia (ICP) antara 60 hingga 80 dolar AS per barel, serta tingkat inflasi sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen.
Subsidi listrik akan diberikan kepada rumah tangga dengan daya 450 volt-ampere (VA) dan 900 VA, serta pelanggan dari kalangan bisnis kecil, industri kecil, dan sektor sosial.
Untuk mengendalikan beban subsidi, pemerintah akan terus mengelola biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Subsidi dihitung dari selisih antara BPP dengan tarif listrik yang dikenakan kepada masyarakat.